SEORANG ANAK PEDAGANG

Seorang Anak Pedagang

Ketika bulan puasa, Mito membuka warung nasi bebek nya jam 9 malam setelah selesai salat tarawih. Ia mangkal di perbatasan kelurahan Pondok Ranji dan Kampung Utan, salah dua daerah di Ciputat. Berbaris rapih sepanjang jalan perbatasan itu gerobak-gerobak  seperti tukang dagang nasi goreng atau sate madura, ada juga mendoan,  baso dan mie ayam, juga susu jahe hangat. Begitu pula Mito, ia ikut meramaikan khazanah kuliner di perbatasan tersebut dengan menjual nasi bebek khas Madura.

Wilayah perbatasan itu memang terkenal dengan wisata kulinernya. Dengan tempat yang cukup strategis, lahan parkir yang luas, di samping jalan utama yang menghubungkan Bintaro dan Ciputat, ditambah mobilitas masyarakat yang tinggi. Setaip sore hingga malam tempat itu selalu di buru orang-orang, anak selolah, pekerja, mahasiswa, warga biasa, hingga pengamen. Setaip penjual dagangan di tempat itu selalu ramai pengunjung, tak terkecuali nasi bebek milik Mito.

Sejak ramadhan tiba, warung-warung itu biasa buka sore hari. Lalu-lalang manusia di jalan setiap sore ramadhan tak di sia-siakan oleh para pedagang. Banyak orang pasti mencari tempat untuk membeli bahan buka puasa atau buka bersama di warung-warung makan. Ya, peluang memang harus di jemput. Para pedagang itu lebih memilih untuk buka puasa di tempat tersebut dan  berharap mendapat nominal lebih pada bulan ramadhan ini.

Mito tidak ikut mencuri start berdagang, ia lebih memilih untuk membuka warung nasi bebek nya pada malam hari. Sore hari ia habiskan waktunya untuk mempersiapkan dagangan untuk malam, dan lebih sering berbuka di masjid dekat kontrakan yang tak jauh dari tempat mangkal. Ia lebih sering mengirit dan banyak menabung untuk keperluan melanjutkan sekolah. Tahun lalu, ia di terima salah satu universitas negeri di Jakarta. Kesempatan itu tak sempat terwujud karena terkendala biaya.

Sejak tahun lalu ia memutuskan untuk bekerja, menabung untuk kuliah, membantu orang tua, dan untuk kebutuhan sehari-hari. Berat ia pikir, sebagai anak satu-satu nya yang punya cita-cita tapi terkendala biaya, juga harus membantu orang tua. Beban tersebut tak pernah ia tunjukan di depan orang-orang, bahkan orang tuanya sendiri. Ia pintar menyembunyikan sesuatu yang terpendam dalam hati kecilnya.

Setelah salat terawih, ia bergegas mendorong gerobak yang berat itu untuk ikut meramaikan khazanah kuliner di perbatasan. Malam itu cukup ramai di setiap warung, tak terkecuali warung nasi bebek milik Mito. Namun, ada yang selalu membuat pedagang lain penasaran.Setiap malam, pasti selalu ada seorang laki-laki yang menjadi ‘pelanggan’ setianya. Dengan pakaian kumel, tidak pakai sendal, dan membawa gitar. Seorang pedagang baso, pak mursi, mendekati Mito yang sedang duduk santai di samping gas tempat Mito memasak  seleteh memberikan makan kepada lelaki tersebut. Pak Mursi memberanikan diri bertanya tentang sosok laki-laki itu.

“aku lihat setiap malam dia suka makan di tempatmu, nak” tanya pak Mursi

Mito tak langsung menjawab, ia mengambil air untuk pak Mursi

“silahkan di minum dulu pak,”

“termakasih nak, jadi siapa lelaki itu”

“ oh, dia seorang pengamen pak”

“ aku lihat tiap malam makan di tempatmu, nak”

“iya pak,” jawab singkat Mito

Percakapan mereka berdua sejenak terhenti karena banyaknya pelanggan yang datang ke warung Mito dan baso pak Mursi.

Sesekali, pak Mursi mengarahkan pandangan kepada lelaki pengamen tersebut. Ia perhatikan, banyak sekali makannya, sejak duduk di tempat Mito, lelaki itu sudah nambah nasi dan bebek 3 porsi. Rakus, pikir pak Mursi. Tak lama kemudian, setelah ia melahap porsi terakhir, lelaki itu pergi dan hanya meninggalkan koin seribu rupiah di meja makan Mito. Mito hanya tersenyum. Gak tau diri, batin pak Mursi berbicara.

Malam semakin larut, pengunjung mulai sepi, Mito sedang membereskan tempatmya. Mencuci piring gelas, membersihkan sampah bekas orang makan, lalu merapihkan gerobaknya. Kursi dan meja ia biarkan di tempat, tak ia bawa pulang. Pak Mursi masih santai-santai duduk dekat gerobak baso dia.

Pedagang lain pun sama, masih santai dan tidak terburu-buru menutup warung. Hanya Mito yang selau mencuri start untuk pulang lebih awal. Bukan tanpa alasan, ia ingin sahur tidak terlewat dan cukup tidur, supaya pagi hari bisa menjalankan aktifitas dengan segar.

Rasa penasaran pak Mursi belum hilang terhadap laki-laki itu, apalagi pak Mursi selalu melihat lelaki tersebut siap hari makan di tempat Mito tanpa membayar sesuai dengan harga. Bagi seorang pedagang, jelas hal itu merugikan. Siap hari nya pasti punya hitung-hitungan untung rugi, berapa yang terjual, berapa yang tidak, kalau terjual sekian maka untung sekian, kalau tak terjual maka rugi sekian. Sebagai pedagang senior, pak Mursi tentu memprediksi kalau siap hari Mito tidak bisa mencapai target jualnya.
Pak Mursi kembali menghampiri Mito yang sudah siap mau pulang.

“ nak Mito buru-buru amat, “ sapa pak Mursi

“ iya pak, soalnya kalau kemalaman takut nanti sahur telat”

“tapi ini masih sore nak, siapa tau nanti ada yang beli lagi”

“rezeki hari ini untuk hari ini pak, rezeki besok pasti ada lagi, saya tidak terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang sudah pasti pak, rezeki kan sudah pasti, sudah ada yang ngatur”

Mendengar jawab tersebut, pak Mursi Cuma diam, menganga dan terlihat mimik wajah yang malu. Meresa di ceramahi secara tidak langsung oleh seorang bocah.
Pak Mursi pikir tak usah basa basi, langsung saja kepertanyaan inti tentang lelaki itu.
Lalu pak Mursi mengajak duduk Mito di meja-nya, Mito meng iyakan. Segelas teh hangat menemani mereka

“bapak masih penasaran sama lelaki itu nak”

“yang mana pak?”

“ pelanggan setiamu, nak “

“saya rasa pelanggan semuanya setia pak, kadang tukang dagang malah yang tidak setia, tidak jujur”

“maksudnya gimana, nak Mito ?”

“iya pak, secara tidak sadar, kita pedangang terkadang membohongi pelanggan supaya dapat untung, menjual makanan yang di bilang bagus dan segar padahal sudah beberapa hari. Mencampur makanan dengan bahan pengawet yang sebetulnya berbahaya bagi kesehatan orang,, ada juga yang jualan di ruko, membeli beras atau apalah, tapi timbangannya di kurangi”

“ya itu wajar aja kan, namanya juga dagang, harus cari untung”

“wajar karena sudah jadi kebiasaan orang-orang pak. Sekarang kita malah membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar”

Pak Mursi terdiam, dia merasa tersindir dan malu, karena anak yang dia anggap masih bocah itu ternyata lebih dewasa dan mengerti. Mito memang anak pedagang, bapaknya pedagang sate, dan ibunya tukang jahit. Di tambah pas SMA dulu, ia juga sambil mondok di pesantren. Sedikit-sedikit tahu ilmu agama.

Suasana masih terdiam sunyi, Mito memainkan jari-jarinya, pak Mursi masih menatap Mito dan menyalakan rokok.

“jadi siapa lelaki itu nak, pengamen yang kau sebut tadi” pak Mursi mencoba memecahkan suasana

“ dia hanya seorang pengamen pak”

“ dia makan terus di tempatmu, banyak pula makannya, tadi saja aku lihat dia nambah 3 kali, lalu pergi hanya meninggalkan koin seribu rupiah, memang kamu tak rugi”

“kenapa saya harus rugi pak “

“kamu memang tak punya target kamu harus dapat berapa setiap harinya ? “
“punya pak”

“lah terus, targetmu pasti terhalangan karena lelaki itu sering menghabiskan banyak daganganmu tanpa membayar sesuai harga “

“ memangnya kenapa kalau kaya gitu pak?, apakah hidup harus selalu tentang nominal?”
“yaa enggak.... Tapikan,,.. anu...” pak Mursi terbata-bata

 Melihat pak Mursi yang terbata-bata, Mito hanya cekikikan.

“pak Mursi ini pedangan senior, sudah 15 tahun dagang, bapak pasti lebih paham, saya masih belajar”

Pak Mursi masih terdiam dan hanya menghisap rokoknya.

“ memang kamu tidak risih jika setiap hari pengamen itu datang dan meminta makan kepada mu?”

Tanya pak Mursi.

“ hidup ini bukan tentang nominal saja pak. Kalau seseorang kehidupannya sudah bergantung pada angka dan nominal, maka nilai-nilai kehidupan nya akan bergeser. Dia akan terus di belenggu kekurangan, ketamakan, curang, dan harga dirinya hanya sebatas angka, kemudian takut jatuh miskin”

“lah,.kamu memang tak takut miskin?”

“bagaimana mungkin aku takut miskin, padahal aku adalah hamba yang paling kaya”

“maksudnya, gimana nak Mito?”

“kita itu hamba yang kaya pak, kalau hati kita lapang. Lapang memaafkan orang lain, lapang meminta maaf kepada orang lain, membantu sesama manusia lain. Banyak orang yang pada sibuk mendirikan tempat ibadah sedangkan tetangganya sakit dan kelaparan mereka biarkan. Lalu untuk apa beribadah kalau seperti itu? “

Pak Mursi merasa Mito bukanlah sembarang anak, ia faham ilmu agama dan juga dewasa dalam berfikir.

“jadi, kamu akan tetap memberi makan lelaki itu setiap hari, nak”?

“ jangankan lelaki itu pak, mereka yang tak punya uang dan kelaparan juga akan saya kasih, termasuk bapak”

“yeh ngaco kamu, aku masih bisa makan dan beli makanan”

Mito cekikikan sambil duduk leyeh-leyeh melihat muka pak Mursi seleh ia ejek yang merasa seperti orang tidak punya.

Pak mursi masih menghisap rokok sambil menyiapkan beberapa bungkus baso untuk mito makan sahur bersama ibu dan bapaknya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )