MAU PANDEMI ATAU TIDAK, SEBETULNYA RAMADHAN ITU SAMA SAJA



           

Kalau lagi kondisi kaya gini hindari jempol-jempol nakal di kolom komentar, gak usah rebut ramadhan tahun ini beda
Yang ditunggu saat ramadhan bukan sekedar mudik, bukber apalagi cuman ngabuburit.
Ramadhan itu buat upgrading diri, supaya kita benar-benar kembali ke fitri.


Minggu lalu, umat muslim di Indonesia telah melaksanakan puasa. Sesuai dengan ketentuan Kementrian Agama RI, Ramadhan di Indonesia dimulai Jum’at, 24 April 2020.

Sebagian orang merasa ramadhan tahun ini berbeda dengan ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Baik dalam menyambut kadatangan itu sendiri, saat pelaksanaan dan perkiraan di akhir ramadhan. Bagaimana tidak ? pandemi Covid-19 yang belum selesai membuat banyak perubahan baik dalam kebijakan pemerintah, pola pikir masyarakat, budaya, dan struktur sosial.

Imbasnya, teraweh berjamaah di masjid dibatasi bahkan dilarang, mengurangnya para pemburu takjil, tidak ada lagi ngabuburit, dan menghilangnya para  panitia buka bersama (bukber).

Baru-baru ini, pemerintah juga menetapkan larangan untuk mudik. Panik bukan main masyarakat kita, momentum lebaran yang biasa di rayakan bersama keluarga harus pupus. Jika ada masyarakat yang nekad mudik, mereka akan disuruh putar balik, kalau tidak mau ya di penjara atau denda 100 juta.

 Hal itu bukan tanpa alasan, pemrintah berusaha tegas untuk melakukan pencegahan Covid-19. Meski kemarin sempat ramai perbedaan mudik dan pulang kampung, padahal coba kita lihat bagaimana beratnya mengambil suatu kebijakan.

Tapi apa benar kita kehilangan suasana ramadhan kaya dulu-dulu ? coba kita perhatikan.

Apa itu puasa ?

Menurut Imam Nawawi, dalam kitab Majmu’. Puasa secara bahasa artinya menahan diri. Setiap bentuk menahan diri dan diam disebut puasa. Secara pandangan syariat (istilah), puasa adalah menahan diri dari hal-hal tertentu yang membatalkan puasa, dimasa tertentu dan orang tertentu. Berarti, puasa yang kita jalani harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Memenuhi syarat, dan menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa.

Begitu pula dengan menurut Imam Ahmad bin Husein al-Syahir Abi Syuja’ dalam kitab Fathul Qarib. Yang di maksud puasa secara etimologi adalah menahan diri. Adapun secara terminologi puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatakan puasa itu sendiri, disertai dengan niat yang telah ditentukan, sepanjang siang hari yang sah dilakukan puasa dari seorang muslim, yang mempunyai akal, yang suci dari haid dan nifas.

Jadi, puasa itu menahan diri dari segala sesuatu. Bisa itu yang membatalkan puasa, atau yang bersifat nafsu. Artinya dengan berpuasa kita belajar untuk mengontrol diri dari segala sifat amarah, egois, mencemooh, menghakimi, menyebarkan hoaks, dan menjaga jari-jari kita  dari godaan kolom komentar seseorang.

Makna Bulan Suci Ramadhan

Bulan ramadhan sangat ditunggu oleh umat muslim, tak terkecuali umat muslim di Indonesia. Tapi, apakah kita benar-benar sudah memahani makna dari bulan suci ini ?

Ramadhan bukan cuma bulan puasa dan budaya masyarakat. Bukan sekedar bukber disana-disini tapi teraweh berjamaah ketinggalan, bukan sekedar memburu takjil, bukan sekedar perang sarung, juga bukan sekedar ngabuburit. Jauh dari itu, ramadhan mempunyai makna menjadikan manusia sebenar-benarnya manusia.

Ramadhan adalah bulan penuh ampunan, bulan penuh keberkahan, bulan kedermawanan, bulan diturunkan-nya Al-qur’an, juga bulan yang harus penuh dengan kesabaran. Karena itu, ramadhan ini perlu dimaknai sebagai latihan bersabar, latihan bersikap dermawan dan perbanyak membaca al-Qur’an. Supaya nanti setelah bulan ini selesai, kebiasaan itu bisa terus dilaksanakan di bulan-bulan selanjutnya, bukan saat ramadhan saja.

Kita harus pinter-pinter memaknai suatu peristiwa dan kejadian. Semisal pandemi Covid-19 ini yang belum juga berakhir di bulan Ramadhan. Gak usah takut untuk kehilangan makna ramadhan secara budaya, besok-besok kita bisa bangun lagi, bukan berati dihilangkan, tapi memang keadaan sekarang tidak memungkinkan. Bulan ramadhan tahun ini paling tidak, kitak gak ninggalin orang tua yang buka dirumah beruda, tapi kita sibuk bukber kemana-mana.

Juga kita bisa lebih benar-benar memaknai Bulan Ramadhan tahun ini dengan sebenar-benar-nya makna. Banyak waktu yang luang untuk beribadah, baca al-Quran, dan berkumpul bersama keluarga.
Sebetulnya ramadhan itu sama saja, mau pandemi atau tidak. kita tidak akan kehilangan makna bulan suci ini kalau kita benar-benar memahami apa yang sebenarnya harus kita lakukan.

Banyak yang bisa kita lakukan, nunggu magrib misalnya. Kalau mau  ngabuburit ya tinggal ngabuburit online saja. Berseluncur di dunia maya untuk belanja atau membaca. Berburu takjil? Coba aja diganti berburu takjil itu dengan cara pergi dapur bantu ibu memasak, atau  dengan teman-teman kosan, masak kecil-kecilan hitung-hitung ngirit keuangan karena gak boleh mudik.

Gak usah resah juga karena masjid ditutup terus gak bisa teraweh. Teraweh bisa dirumah bareng keluarga, atau dimana saja yang terbatas dan tidak terlalu berkerumun. Dari pada kita paksakan di masjid, ketemu banyak orang, tau-taunya pulang dari masjid kita jadi Postif Covid-19. Lah-lah, gak bisa lebaran nanti, malah diisolasi. Bukankah setiap bumi itu adalah masjid tempat untuk bersujud? Kecuali kuburan dan WC.

Jadi, ramadhan dengan pandemi atau tidak tetaplah sama. Bulan penuh ampunan dan keberkahan, tempat untuk perubahan diri dan meruntuhkan segala keangkuhan yang ada dalam hati. Makna ramadhan tidak akan bergeser, kali ini umat manusialah yang harus bergeser dengan benar-benar memaknai ramadhan tahun ini sepenuh hati.





 Ciputat, 05 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )