Bukan Aku Yang Menderita



Sambil menunggu magrib, Mito ikut membersihkan masjid dekat kontrakannya. Dari mulai menyapu, mengepel, menggulung karpet hingga menyiapkan buka puasa untuk para jamaah yang datang. Mito tidak sendiri, ia di temani Ujang. Seorang takmir masjid yang usianya baru 20 tahun, tak jauh beda dengan Mito. Ujang adalah seorang Mahasiswa di salah satu Universitas Negeri di Jakarta.

Ia memilih mengabdi di masjid dari pada tinggal di kosan.
Suasana langit sore yang mendung membuat orang-orang lebih awal datang ke masjid. Biasanya mereka yang datang ke masjid adalah para pemburu takjil. Masyarakat setempat, Mahasiswa, kadang juga pedatang yang tak sengaja lewat.

 Setiap sore selama bulan ramadhan, biasanya masjid tersebut menyediakan 100 boxs nasi dengan menu yang berbeda-beda. Kadang ayam goreng, ayam bakar, atau rendang. Namun takjil pembuka pertama tidak pernah berubah, 3 biji kurma dan 1 gelas sirop.
Bahan takjil dan makanan berat sudah siap di hidangkan sore itu, jamaah pun mulai berdatangan.

Mito dan Ujang masih di belakang tempat di mana semua makanan di timbun

“kamu bisa bantu tiap hari ga to. Selama ramadhan ini” tanya Ujang kepada Mito

“lebaran tinggal 10 hari lagi, insyallah siap”

“iya to, lumayan. Setiap harinya kita bakal di kasih 200 ribu sama ketua DKM”

“ besar atau kecil gak masalah, jang. Yang penting kita niat membantu.”

Ujang hanya mengangguk santai. Mereka kembali sibuk merapikan makanan yang akan di sajikan.

Ajakan dari Ujang tentu tidak di tolak Mito. Kini, Mito mempunyai kesibukan Lain. Menjadi takmir masjid dadakan. Selain bersih-bersih, juga menyiapkan takjil.

Semua sudah di siapkan dengan rapih, waktu berbuka semakin dekat. Mito dan Ujang segera menghidangkan makanan di dalam sampai teras masjid.
Mito bagian kanan masjid dan Ujang bagian kiri masjid.

Pandangan Mito tiba-tiba beralih ke teras masjid. Ia melihat ada seseorang yang sedang salat namun menghadap kiblat yang salah. Seorang laki-laki tua berumur 65 tahunan.
Mito langsung berlari ke arah lelaki tua itu.

“pak, maaf. Bapak menghadap kiblat yang salah” bisik Mito dengan sopan

Lelaki tua itu tak mempedulikan, ia masih khusu dengan salatnya. Mito masih menunggu dan memperhatikan. Hingga tiba pada rakaat yang ke 3. Mito kembali berbisik pelan.

“maaf pak, bapak salah arah kiblat.”

Selesai rakaat ke tiga, barulah lelaki tua itu puter balik seperti orang yang sedang eksul paskibra dengan lagak balik kanan. Diselesaikan rakaat terakhir dengan kiblat yang benar.

Mito terheran-heran. Seingat dia, hal seperti itu tidak sah dalam tata cara salat.
Lalu lelaki tua itu pun selesai salat.

“ pak maaf,  seperti itu tidak di benarkan dalam cara salat”

“lah, kan tetep salat nya 4 rakat”

“tapi kiblatnya salah pak”

“ bukankah Allah ada di mana-mana? Kenapa kita harus berpatokan pada ka’bah. Apakah sebenarnya kita menyembah ka’bah?”

“ anu pak, bukan begitu.”.

Mito kebingungan harus menjawab apa. Ia tahu porsi berbicara, ia sangat menghargai orang yang lebih tua. Namun ia perlu mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang mudah dan tidak menyinggung.

Beberapa kali ia mendengar ceramah seorang da’i. Isinya hanya berputar-putar dan tidak di olah dengan baik. Bahasnya begitu rumit, susah di cerna orang awam sehingga banyak orang yang salah faham. Ada juga yang sengaja improvisasi dan provokasi. Padahal, seharusnya bahasa-bahasa yang di sampaikan kepada khalayak umum harus mudah di fahami. Tidak usah ribet dan menunjukan seolah paling tahu dan intelektual.

Dari pengalaman yang ia rasakan setiap mendengar ceramah. Ia mencoba memilah cara bicara dan menyampaikan sesuatu.

“begini pak, kita memang tidak menyembah ka’bah.”

“lalu apa, ?”

“ yang kita sembah tetap Allah”

“ yasudah kalau gitu, salat mengarah kemana saja boleh dong, kan Allah ada di mana-mana”
“ bapak ini sesat”

“loh ko saya sesat, jangan sembarangan kamu”

“ iya bapak ini sesat. Termasuk saya. Saya juga sesat pak, kita semua itu tersesat, makanya harus saling mengingatkan”

“maksudnya gimana?”

“ kita semua ini tersesat. Buktinya, kita selalu mengucap kalimat ‘Ihdzinasyirratal mustaqqim’ setiap salat dalam surat al-fatihah. Artinya tunjukanlah aku jalan yang lurus, tersesat dong pak. Makanya bapak tadi saya kasih tau pas lagi salat, bapak tersesat. Kalau saya biarkan, nanti bapak malah nyasar jauh dan gak bisa ikut buka. Jadi, meskipun Allah ada dimana-mana pak. Tetap, kiblat untuk salat kita sebagai orang yang tersesat, harus ke ka’bah. Itu jalan yang Lurus pak”

Lelaki tua itu sedikit heran dan bingung, tapi ia coba berfikir dengan logika. Bahwa memang manusia pada dasaar nya tersesat. Tak banyak bicara, dengan muka yang masih bingung lelaki itu kembali berdiri dan mengulang salat nya. Mito kembali ke dalam masjid, membatu Ujang merapikan tak’jil untuk berbuka.

“bapak itu gimana to?”


“gimana apanya jang?”

“dia mau mengulang solat nya ?”

“alhamdulilah dia mau”

“kamu tau to, sebenarnya mereka tidak salah karena tidak tau ilmu. Di kampungku, di Cianjur Selatan. Dimana orang-orang masih mengganggap pendidikan adalah barang mahal, dan mereka hanya bergaul dengan cangkul. Hal seperti itu sering aku temukan. Pernah juga aku menemukan, di suatu mushola di tengah sawah, selesai salat ashar. Aku sedang duduk sambil memainkan jari-jariku memutar tasbih. Tak lama, seorang bapak-bapak paruh baya, dengan paikan berlumur lumpur dan topi petani. Ia bersih-bersih lalu salat. Saat rakaat kedua, aku mendengar suara kentut. Lalu bapak itu keluar dan menagmbil wudhu, lalu melanjutkan salatnya. Setelah ku perhatikan, ia hanya melanjutkan rakaat selanjutnya, dua rakaat lagi. “

“ lalu bagaimana ?”

“ aku kaget, setelah bapak itu selesai salat. Aku beranikan diri untuk memberitahu kalau salatnya harus di ulang karena empat rakaat salat ashar tidak boleh terpisah. Lalu bapak itu menjawab, yang penting kan 4 rakaat. Lalu bapak itu pergi tanpa mempedulikanku”

“ ha.ha.ha “ Mito tertawa.

“ loh ko kamu malah tertawa, to “

“ ya mau gimana, dia salat ashar,. Kan harusnya 4 rakaat, terus selesai raakat kedua dia kentut. Lalu wudhu lagi . Terus bukannya mengulang salat dari awal. Dia hanya melanjutkan sisa rakaatnya, dua rakaat ha ha ha”

“ harusnya kita berfikir to”

“mikir gimana jang”

“ pendidikan belum menyentuh masyarakat paling dalam, sistem pendidikan kita gak bisa di sama rakatakan. Tapi harus merata”

“ memang di sana tidak ada sekolah ?”

“ya ada, tapi jauh. Kadang anak-anak di sana harus menempuh perjalanan melewati sawah, sungai, dan bukit. Apalagi kalau musim hujan, sungai terkadang meluap sampe ke sawah. Mau berangkat sekolah saja seperti mau mempertaruhkan nyawa”

Ujang memang seorang perantau dari Cianjur selatan. Kampung  halamnya terletak jauh dari kota, beruntung, Ujang mempunyai kesempatan untuk mengemban pendidikan tinggi sampe kuliah. Sejak SMP dia sudah tinggal di pesantren, dan sampai saat ini ia tidak bisa pelas dari lingkungan yang agamis. Oleh karena itu, dia memilih untuk jadi takmir masjid selama merantau.

Praktik salat yang di saksikan Mito di masjid tadi sore bukan hal aneh di kampung Ujang. Pendidikan belum merata, paling mereka belajar ilmu agama dasar sama kiyai-kiyai kampung. Tapi tetap saja tidak merata, sebab tidak semua Kampung mempunyai kiyai.

“sesekali kamu harus main ke rumahku to, nanti kalau kamu sudah keterima jadi mahasiswa, aku ajak ke kampungku”

“buat apa jang”

“ Pada akhirnya, kita harus menemukan kebaharuan perspektif dalam melihat Imdonesia, yang biasa kita lihat hanya lewat kaca mata Jakarta”

Mito mengangguk, sepertinya beban yang ia rasakan tak ada apa apa nya dengan benan Ujang yang harus merubah dan memajukan masyarakat di kampungnya. Mito hanya berjuang untuk dirinya dan keluarga. Sedang Ujang Memanggung masyarakat banyak, konon, hanya ujang satu-satunya pemuda yang berpendidikan tinggi di kampung itu.

Adzan magrib sudah terdengar, Mereka duduk bersama dengan jamaah lain nya. Berbuka, menyantap kurma, dan nasi kotak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )