Anak Kecil Yang Tak Berhenti Menangis














Anak kecil yang tak berhenti menangis

Duduk sendiri di antara batu nisan, di tengah-tengah kuburan. Seorang anak tak Kecil tak berhenti menangis. Air matanya sesekali membasahi tanah yang bertumpuk bertabur bunga melati, aroma nya masIh segar. Kadang air matanya menetes di atas batu nisan yang terbuat dari kayu jati. Belum lama, kuburan itu baru 40 hari.

Pada suatu sore, langit kuning kemerah-merahan itu sedang di serbu gelap awan. Tiba-tiba mendung. Pantulan cahayanya semakin redup, tapi anak itu tidak peduli. Ia tidak memuja senja, seperti kebanyakan orang. Sebelum hujan menguyur bumi, anak itu sudah tenggelam dengan air matanya sendiri. Ia tak berhenti menangis, di hadapan nisan bapak nya.

Besok sudah lebaran, orang-orang sibuk pergi keluar rumah, sore itu. Ada yang ke pasar, ada yang membuat Ketupat dan opor ayam, ada yang sibuk membuat Broadcast permintaan maaf untuk di sebar. Bahkan, tukan cukur sedari siang antreannya sudah mengular. Barangkali jika tangan bisa bicara, ia ingin memisahkan diri dari anggota tubuh.

Anak kecil itu, ia masih bersimpuh memandang nisan ayah nya yang meninggal karena kecelakaan, tersengat listrik saat bekerja sebelum bulan puasa.  Sesekali anak itu berbicara sendiri.

“besok sudah lebaran pak, mereka mau merayakan kemanangan”

Sambil mengusap nisan, hujan terus membanjiri pipi nya. Anak itu tak peduli dengan kemenangan.

Barangkali dia pun masih bertanya-tanya apa sebetulnya yang di menangkan, dan siapa yang di kalahkan. Barang kedua dia juga mulai berfikir, siapa yang pertama kali membeli baju baru untuk lebaran, sehingga menjadi budaya tahunan masyatakat. Yeah, dia sudah mau berumur 10 tahun. Mulai berfikir.

Pada suatu sore, ketika anak-anak lain di sibukan dengan berbelanja, merapihkan diri, mencukur rambut, ada juga yang bermain. Anak itu, ia hanya tetap di kuburan. Di dekat nisan bapaknya.


“tidak lama lagi, aku akan sendiri, pak. Ibu sudah mau mati. Sakitnya sudah parah”.
Ia sudah mengira, bahwa nasib nahaas akan segera datang. Segala isi hati ia curahkan di depan nisan, ibu nya sudah tak sanggup mendengar, apalagi bicara. Ia sekarat.
“besok. Aku akan lebaran, pak. Tanpa bapak, bersama ibu yang sakit. Aku juga tak butuh baju lebaran, masih ada bekas tahun kemarin, sengaja aku simpaan. Aku membelinya dengan uang yang ada di saku bapak, waktu itu. Maap pak, aku tak bilang. Aku hanya ingin bapak tidak memikirkan baju untuk ku. Lagipula, perut kita lebih penting”.

Sambil mengusap tetes air mata, ia berdoa

“pak, yang bahagia ya, di sana. Maap, aku belum bisa tumbuh besar seperti kepngin bapak. Aku janji aku tidak akan manja. Aku selalu doakan bapak. “

Yeah,
Dia masih sendiri di bawah langit hitam, bersandar pada batu nisan.

Iya melangkah perlahan, meninggalkan nisan, berjalan di bawah derasnya hujan. Agar tidak ada yang tau kalau dia sedang menangis.

Kerinduan, sudah tak terbendung. Ia terus menerus membaca alfatihah sambil berjalan, untuk bapaknya.

Rindu itu telah mengendap ikhlas walau tak terbalas, seperti endapan kopi yang tak pernah di teguk.


Cianjur, 24 Mei 2020

Malam sebelum lebaran idul fitri,

Semoga kamu benar-benar merasakan kemengan,dik.

Aku masih belum menang, harus terus berjuang. Paling tidak untuk diriku sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )