Hanya Untuk Berbuka




Hanya sekedar untuk berbuka

Sore itu pak Mursi mencuri start berdagang, ia sudah datang sejak jam 4 sore ke warung basonya.  Ia melihat bu Diana dan pak Munir sudah sudah di warung mereka masing-masing. Bu Diana berjualan mendoan dan pak Munir berjualan sate khas tegal. Pak Mursi belum melihat Mito, ia memaklumi, sebab Mito memang biasa buka warung setelah salat tarawih.

Menjelang magrib, seperti biasa warung wisata kuliner di perbatasan itu ramai di kunjungi orang-orang untuk berbuka puasa. Kali ini, giliran warung baso pak Mursi yang mujur, belum  sampai isa dagangnya sudah mulai mengurang. Entah hari itu orang pada mengidam baso, atau memang tuhan memberikan rezeki lebih untuk pak Mursi hari ini. Pokoknya, warung pak Mursi paling ramai di antara yang lain.

Pak Mursi mengambil lagi stok baso di rumah karena masih banyak pelanggan yang berdatangan. Selepas salat tarawih, baso pak Mursi masih lumayan ramai pengunjung. Namun, ia tak melihat Mito datang. Gerobak Nasi bebek Mito terlihat tak berubah, gelap, berantakan, dan tak terlihat aktivitas seperti akan berjualaan, begitupun dengan pengamen yang biasa numpang makan, tidak terlihat batang hidung nya sedikitpun.
Pak mursi heran, tapi keheranan itu ia pendam terlebih dulu karena fokus melayani pelanggan.

 Waktu menunjukan jam 9 malam, dan Mito masih belum terkihat mangkal.
Bukan hanya Pak Mursi, bu Diana dan pak Munir juga keheranan. Mereka merasakan ada yang kurang ketika Mito tidak ikut mangkal.

Pak Mursi, bu Diana dan pak Munir sedang duduk santai di belakang gerobak masing-masing.

“Mito tidak jualan, pak mursi ?”. Bu diana mencoba memecahkan suasana.
Di antara semua pedagang, hanya pak Mursi yang di kenal dekat dengan Mito. Gerobak mereka pun sebelahan
“aku tidak tahu bu, biasanya anak itu rajin. Ya wajar saja, dia memang sedang mengumpulkan uang untuk kuliah. Tapi tumben dia tidak jualan malam ini”

“mumgkin dia sedang lelah pak mursi” sahut bu Diana

“ anak itu tak kenal lelah bu”

“ mana mungkin pak, namanya manusia pasti menemukan titik lelah”
“tapi anak itu memang tak kenal lelah bu,”

Pak mursi dan bu Diana sibuk membicarakan Mito, bu Diana mulai bertanya-tanya tentang Mito kepada pak Mursi. Sedangkan pak Munir sibuk menghitung uang hasil jualan hari ini.
“anak itu seperti niat gak niat jualan ya pak”

“loh ko begitu bu, gimana niat gak jualan, orang setiap hari dia mangkal terus.. Cuma malam ini aja tidak datang kalau saya hitung”.

“ ya aku sering liat saja pak, alih-alih jualan, dia lebih sering terlihat memberikan makanan gratis sama pengamen, pemulung, kadang juga anak-anak yang berjoget sambil memakai boneka ondel-ondel”

“ ah ibu ini malah gibahin sesuatu yang cuman kasat di mata, mata itu banyak menipu bu”
“terus harus pake apa saya melihat seseorang”

“coba pake hati bu, siapa tau bisa melihat dari sudut pandang yang lain”
“pak Mursi, pak Mursi,. Gimana kita ngelihat pake mata hati pak, hati kan gak punya mata, juga gak bisa bicara. Kalau melihat ya pake mata, bicara ya pake mulut”
Pak Mursi hanya diam mendengar perkataan ibu itu, pak Munir cekikikan sambil menghitung uang pendapatan hari ini.

Pak Munir berlagak seperti orang yang tak peduli, tapi sebenarnya dia menyimak percakapan bu Diana dan pak Mursi tentang Mito.

“sebetulnya tadi sore saya melihat Mito di alfamart dekat kontrakannya” kata pak Munir sambil cekikikan

“ngapain Mito di alfamart pak” tanya bu Diana

“saya gak sempat nanya bu, cuman saya lihat dia sedang berdiri di belakang mobil seperti tukang parkir”

“apa mungkin dia alih propesi jadi tukang Parkir ya pak” sahut bu Diana
“huh, dasar ibu-ibu” celetuk pak Mursi.

“ hehehe kalau bapak dan ibu penasaran sama anak itu, coba tanya langsung saja. Mungkin sekarang dia masih di alfa “

Bu Diana hanya diam, ia lebih memilih membereskan gerobak mendoan. Begitu pula pak Munir, ia masih bulak balik menghitung uang. Hanya pak Mursi yang benar-benar penasaran, batin mereka seperti sudah terikat.

Pak Mursi segera merapikan gerobak basonya lalu berangkat ke alfa yang di maksud pak Munir. Tak Jauh, hanya 5 menit bila menggunakan motor .

Waktu menunjukan jam 10 malam, jalanan sudah sepi begitupun warung-warung jajan.
Tak lama pak Mursi sampai di alfa tersebut. Ia mendapati alfa itu sudah tutup, tak ada kendaraan, tak ada pegawai. di sudut paling ujung teras alfa, ia melihat seorang anak muda yang sedang tertidur. Pak Mursi mendekat, kaget bukan kepalang bahwa anak itu adalah Mito.

“astagfirullah, nak Mito. Bangun. Nak, bangun” suara pak Mursi terdengar begitu cepat.
Mito pun terbangun. Terlihat jelas muka kusut bak kelelahan berkerja tanpa henti”

“eh, pak Mursi”

“kamu ngapain tidur di sini malam-malam nak”

“bapak sendiri kenapa kesini”

“ko kamu malah nanya balik, bapak kesini karena khawatir. Kamu tadi gak ikut jualan”

“ kenapa bapak bisa tau saya di sini”?

“pak Munir tadi ngasih tau, katanya kamu mangkal di alfa tadi siang, kaya tukang parkir”

“memang apa yang salah dengan tukang parkir pak?”

Pak Mursi tidak langsung menjawab, ia mengambil sebotol air putih di tas Pinggang tempat menyimpan uang.

Mito pun langsung minum dengan cepat, seperti orang kehausan.
“ kenapa kamu gak dagang hari ini, nak.?” Tanya pak Mursi lagi

“ saya sudah kehabisan bahan pak, tidak ada modal untuk belanja lagi, stok bebek di kontrakan pun sudah menipis. Begjtu juga dengan beras, sayuran dan minyak”

“ terus ngapain kamu di alfa seharian”

“ hanya mencari uang buat berbuka pak”

“jadi tukang parkir”?

“ iya pak”

Pak Mursi terdiam, ia merasa iba. Pak mursi pun sudah menyangka kalau anak ini pasti tidak akan malas-malasan meski warung nya tutup. Kini pak Mursi tau alasan Mito tidak berdagang hari ini.

“sudah bapak bilang kan kemarin, banyak menghamburkan dagangan begitu saja Tanpa di bayar. Dagang itu urusan rugi dan untung. Kalau kamu nurut, kamu gak bakal Nyari sampingan jadi tukang parkir”

“memang apa salahnya jadi tukang parkir” ? Tanya Mito dengan polos.

“ ya gapapa sih, Cuma kan lebih baik kamu jadi pedagang” jawab pak mursi.

“ baik atau gak baik, itu urasan personal pak”

“ maksudnya gimana, ? Menururmu lebih baik jadi tukang parkir atau pedagang?

“ semua pekerjaan tidak ada yang hina, hanya mereka yang tidak mau bekerja dan berusaha lah yang hina. Baik pedagang maupun tukang parkir, mereka sama sama cari makan. Bisa jadi itu adalah pilihan terkahir, karena sangat susah mencari pekerjaan. Tukang parkir juga Punya keluarga yang perlu di nafkahi, perut yang perlu di isi. Jadi, jangan sampai kita merendahkan pekerjaan seseorang”

Mendengar jawaban Mito, pak Mursi hanya manggut dan meng iyakan saja. Tidak mau berdebat panjang, dan masih berfikir bahwa Mito itu tetaplah seorang anak yang baru tumbuh. Meskipun sesekali perkataan Mito ada benar nya juga.

“yasudah, malam ini saya antar kamu pulang. Besok saya kasih modal untuk kamu belanja supaya bisa berjualan lagi”

Mito hanya mengangguk.

Merekapun berjalan di bawah sinar rembulan, menuju tempat peristirahatan dari segala hiruk piuk dunia. Sebuah tempat yang istimewa untuk mereka, tempat cinta dan kasih sayang yang sesunggunya tumbuh.

Sungguh, surga itu tak jauh. Ia ada di rumah.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )