CIANJUR, KOTA SANTRI YANG HILANG

Santri selalu identik dengan mereka yang pernah tinggal dan menimba ilmu di pesantren, baik itu tradisonal maupun modern. Tapi kita  mendefinisikan sosok santri  dari sisi lain. Yaitu mereka yang mengimplentasikan nilai-nilai kemanusian serta jiwa sosial yang tinggi. karna sejatinya ajaran yang di berikan pada hakikatnya tentang akhlak, hablu minallah, hablu minannas.  baik mereka yang pernah tinggal di pesantren atau yang tidak pernah sama sekali.
Cianjur, daerah yang pernah terkenal dengan sebutan “kota santri” . Orang tentu mempunyai alasan kenapa Cianjur disebut sebagai kota santri. Hampir di setiap desa bahkan kampung terdapat sebuah pesantran tentu dengan isi yang kita sebut biasa sebagai santri, baik itu mereka yang tinggal dan menetap di pesantren atau pun mereka yang hanya ikut mengaji di pesantren itu (santri kalong).
Hampir disetiap sudut Desa, Kampung dan lingkungan warga di Cianjur selalu ada sosok santri-santri yang hidup bersama dan berdampingan dengan masyarakat setempat. Santri-santri yang mencari ilmu disana berasal dari berbegai daerah, seperti sukabumi, bandung, bogor, ciamis, dan majalengka. Serta masih banyak dari luar jawa barat seperti tegal, lampung, semarang dan daerah lainnya. hal ini terjadi tentu karna waktu itu cinajur terkenal dengan kota santri nya, sehingga menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin belajar ilmu agama.
Bukan hanya karna merek kota santri saja yang menjadi daya tarik, tapi juga karna Tokoh-tokoh kiyai yang menjadi pengasuh dan pengajarnyaa menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Salah satu contoh seperti KH Abdul Haq Nuh atau sering orang menyebutnya aang nuh gentur. seorang ulama besar, pahlawan, jurnalis, menguasai beberapa bahasa asing. Bahkan dalam sebuah buku beliau disebut sebagai “Al-Ghazali dari Indonesia”. Putra dari Mama Syatibi gentur.
Selain pesantren tradisional, juga terdapat pesantren yang sudah menerapkan sistem modern seperti pondok pesantren Al-Ittihad yang di pimpin oleh KH Kamali Abdul Ghani, pendidikan yang berbasis pesantren dan sekolah formal menjadi minat orang-orang untuk belajar disana, bahkan murid dan santrinya pun sudah mencapai angka ribuan. Tak perlu membuat program keagamaan untuk menjadikan masyarakat Cianjur menjadi warga yang agamis, karna dari lingkungan dan karakter pun Cianjur sudah menjadi daerah yang agamais, sopan dan masyarakat gotong royong. Lebih baik menekankan program pembangunan infrastruktur dan sosial.
Namun, hari ini sebutan kota santri telah hilang. Perkembangan zaman yang tak bisa dihindari serta pergerseran pola fikir masyarakat yang mengganggap bahwa pesatren itu adalah hal yang “kuno”. Orang semakin sedikit yang datang menuntut ilmu di pesantren-pesantren tradisional di Cianjur. Lihat saja, pesantren tradisonal yang dulu besar dan terkenal banyak santrinya kini semakin sedikit, bahkan ada pula beberapa pesantren tradisional yang “gulung tikar”.
Diperlukan stimulus baru untuk kembali membangun dan mendorong agar masyarakat lebih memahami pentingnya pendidikan di pesantren. Pesantren menjadi pembentuk karakter anak bangsa sejak dari dulu. Cianjur harus kembali Melahirkan orang-orang yang hebat dan menjadi contoh dibumi parahyangan. Seperti halnya pendahulunya. Raden Aria Wira Tanu 1 yang memimpin Cianjur pada tahun 1677. Seorang Ulama, Nasionalis, diplomat ulung.
Pondok pesantren tradisional kini telah menurun eksistensinya, masyarakat lebih memilih pendidikan formal karna merasa masa depan anak-anak nya akan terjamin dan akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak dimasa depan. Pesantren tradisional seolah lupuk dari perhatian pemerintah.  seharusnya lingkungan ini didukung dan diperhatikan, sehingga eksistensi nya kembali hidup. Dan kota santri yang hilang ini akan tetap bermanfaat bagi mereka yang haus akan ilmu agama serta menciptakan generasi pemimpin yang berintegritas untuk Cianjur.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )