PEREMPUAN DI TITIK NOL, MEMBONGKAR KEBOBROKAN KAUM LELAKI


 









Resensi Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi


Kelas social ekonomi berdasarkan perbedaan gender yang menindas, terlupakan oleh Charles Darwin setelah menemukan teori evolusi. Sebab, waktu itu kaum Borjuis selalu menganggap mereka adalah keturunan para dewa dan membenarkan segala tindakan eksploitatif tidak manusiawi. Mensakralisasi diri dengan eksistensi-eksistensi yang dianggap suci. Sedangkan para perempuan, hanya dijadikan budak oleh kaum lelaki serta pelampiasan nafsu birahi.

Nawal el-Sadawi, seorang feminis dari mesir, mencoba menceritakan dan melawan kebobrokan, diskriminasi, eksploitasi dan subordinasi para wanita ditempatnya. Di mana ia menguak sebuah kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum lelaki, sebuah kritik terhadap budaya patriarki yang dijunjung begitu tinggi. Meminjam bahasa Muchtar Lubis, Buku sangat “keras dan pedas”. Membongkar semua keburukan, penindasan, pelecehan, dan ketidak adilan terhadap kaum perempuan.

Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata seorang perempuan yang ditemui oleh Nawal ketika ia berkunjung ke sebuah penjara di Qanatir. Dari bilik sel penjara, Firdaus, tokoh utama dalam cerita ini divonis hukuman gantung karena telah membunuh seorang germo. Ia menyambut hukuman gantung yang diberika kepadanya, bahkan dengan tegas ia menolak usulan grasi oleh dokter penjara kepada presiden. Menurut Firdaus, vonis ini merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran yang sejati.

Lika-liku kehidupannya, dari masa kecilnya di desa, hingga Firdaus menjadi pelacur kelas atas di kota kairo, Firdaus telah mengalami berbagai macam bentuk kekerasan psikis, seksual dan ekonomi. Perlakuan yang, bisa jadi dialami oleh perempuan-perempuan lain. Kemiskinan dan kelaparan telah menjadikan Firdaus yatim piatu. Sejak saat itu, Firdaus kecil ikut bersama pamannya seorang mahasiswa Al-Azhar yang menikah dengan seorang perempuan, anak gurunya di Al-Azhar. 

Sebagai perempuan, Firdaus kerap mendapatkan pelecehan seksual dari kecil, hal itu terus terjadi ketika Firdaus tinggal bersama pamannya. Beruntung, karena rumah pamannya kecil, ia dimasukan ke sebuah asrama hingga lulus sekolah menengah atas. Kemudian perjodohan diatur oleh istri pamannya, Firdaus dijodohkan dengan sorang lelaki tua yang kasar, pelit, dan jorok, Syekh Mansour.

Babak baru kehidupan Firdaus dimulai, ketika menjadi istri syekh Mansour, Firdaus kerap mendapatkan kekerasan fisik. Ia sering diperlakukan seperti budak, dipukul, dan tidak diberikan haknya. Pada suatu waktu, Firdaus pernah dipukul hingga perempuan itu berdarah-darah. Tidak kuat dengan perlakuan syekh Mansour, Firdaus melarikan diri. 

Di suatu cafĂ©, Firdaus bertemu dengan Bayoumi dan tinggal bersama di rumahnya sampai Firdaus mendapat pekerjaan. Awalnya, Bayoumi adalah lelaki yang baik. Ternyata lelaki itu serigala berbulu domba. Bayoumi sering memukul dan melakukan pelecehan seksual, bahkan  Bayoumi mengundang teman-temannya untuk berbuat asusila dengan Firdaus. Firdaus melarikan diri.

Firdaus kembali merasakan kerasnya kehidupan di kota Kairo. Perjalanan yang pahit mempertemukan Firdaus dengan Syafira. Di tangan Syafira, Firdaus menjadi orang baru. Menjadi seorang yang percaya diri dan mulai menjelaskan bahwa Firdaus adalah sorang perempuan yang cantik, pintar dan mahal. Berawal dari sana, Firdaus mulai menjadi seorang pelacur kelas atas. Pelanggannya beragam, dari mulai para pejabat, pengusaha, hingga orang-orang biasa. Sayanganya, Syafira membohongi Firdaus dan tidak pernah dibayar. Lagi-lagi Firdaus melarikan diri.

Sebuah momen membawanya mengenal sosok Ibrahim, seorang ketua komite revolusioner di perusahaan tempat ia bekerja. Firdaus jatuh cinta, cinta membuat dirinya seakan-akan menggengam dunia. Dunia terasa indah dan matahari bersinar lebih terang, seakan ada harapan baru untuk perubahan dalam dirinya. Sayangnya, harapan itu layu secara tiba-tiba, Ibrahim hanya ingin bercinta dengan Firdaus kemudian kawin dengan perempuan lain yang menurut lelaki itu terhormat, anak Presiden direktur di perusahaan.

Luka batin yang menghujam membawa kembali firdaus kembali ke dunia pelacuran.

Dalam budaya patriarki, perempuan kerap diidentikan dengan sosok yang lemah lembut dan membutuhkan perlindungan untuk membuatnya semakin lemah dan mudah didominasi. Identitas laki-laki menjadikan perempuan menjadi mahluk kelas dua, akibat budaya ini, perempuan kerap mendapat perlakukan yang tidak adil sebagaimana yang dialami Firdaus. Mendapatkan pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum lelaki.

Dalam budaya patriarki, perempuan selalu dipandang sebagai sosok liyan.  Sebagaimana Simon de Beauvoir menyakini bahwa ada dua jenis hubungan, yakni laki-laki yang mengklaim dirinya sebagai sang diri dan perempuan sebagai yang lain, atau laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek. Beauvoir menyadari tidak mudah bagi perempuan untuk keluar dari penderitaannya karena sudah begitu tertanam peran stereotip perempuan di masyarakat tetapi apabila bertekad untuk tidak ingin diperlakukan sebagai sosok liyan maka perempuan harus berani melawan, sebagaimana yang dilakukan oleh Firdaus.

Pada akhirnya, Firdaus bertemu dengan seorang germo dan dipaksa untuk menikah dengannya.  Firadus meresa terjebak dengan keadaan, ia memutuskan untuk keluar dan pergi. Pada saat ia akan keluar, germo itu sudah berdiri di depan pintu, mengeluarkan sebilah pisau dan berusaha menusuk Firdaus. Beruntung, tangan Firdaus lebih cekatan dan menangkis pisau tersebut lalu menancapkan ke leher, dada dan perut germo tersebut.

Kejadian itu ia ceritakan kepada soerang Pangeran Arab yang berkencan dengannya. Firdaus menjelaskan bahwa ia bukan penjahat, ia hanya membunuh penjahat. Karena pangeran itu tidak percaya, Firdaus menampar keras pipi pangeran tersebut. Merasa diri dan harga dirinya terancam, pangeran itu melaporkan Firdaus. Polisi memasukan Firdaus kedalam perjara dan divonis hukuman mati. Sebab jika Firdaus dibiarkan, mereka khawatir kebobrokan dan segala aib akan dibuka lebar-lebar oleh Firdaus.

Maka dalam cerita ini, Firdaus harus menjadi symbol perlawanan kaum perempuan atas penindasaan yang dilakukan oleh kaum lelaki.  Perempuan tidak boleh tunduk pada keadaan, harus bangkit untuk melawan terhadap setiap tindakan yang tidak adil kepada dirinya. Di sini, kita harus tersadarkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Menyadarkan manusia dari zona normalnya, apa yang akan terjadi jika kesempatan hanya diberikan sebsar-besarnya kepada kaum lelaki? Sedangkan kaum perempuan terhimpit, tertindas, dan selalu menjadi mahluk nomor dua?. Firdaus hanya satu dari sekian banyak kisah perempuan yang tertindas dan melawan. Masihkah kesetaraan tidak perlu diperjuangkan ? 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )