MENCOBA BERSAHABAT DENGAN MAKHLUK GAIB








Kisah ini terjadi pada tahun 2003, ketika itu aku duduk di kelas 3 SD. Suatu malam, aku bersama ayah, ibu, dan pamanku menghadiri undangan syukuran saudaraku yang tinggal di kampung sebelah, masih satu desa. Namun, jarak tempuh dari rumahku ke kampung tersebut memakan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki. Melewati persawahan, kebun kopi, hutan dan bukit. Waktu itu, belum ada yang mempunyai kendaraan di keluarga kami, jadi mau tidak mau harus berjalan kaki.

Kami berangkat dari rumah selepas solat magrib, berempat. Karena hari mulai gelap, kami membawa satu buah patromak untuk penerang jalan. Tidak begitu terang, cahayanya hanya cukup untuk membuka jalan dengan jarak jangkau yang tidak terlalu jauh, hanya satu meter ke depan dan kesamping. tidak ada lampu rumah apalagi lampu penerang jalan, karena jalan yang kami tempuh adalah sawah dan hutan.

Kami mulai berjalan melewati sawah, jalannya setapak dan kecil, saat berjalan melewati sawah, kami harus berbaris, aku memilih barisan tengah karena takut. Kemudian, kami berjalan melewati jalan setapak di hutan. Kampung saudaraku itu terletak dibawah kaki bukit, jadi kami menyusuri hutan yang gelap dan berisik dengan segala suara yang aku berusaha untuk tidak memperdulikannya. 

Kami sampai di kampung itu sekitar pukul 8 malam. Ngobrol, mengikuti acara, dan makan-makan. Tidak ada kejadian aneh saat berangkat.

Karena keasikan ngobrol, tak terasa waktu menunjukan pukul 11:00 malam. Saudaraku menyarankan kami untuk menginap dirumahnya malam itu, mengingat waktu yang sudah terlalu malam. Namun ayahku menolak, sebab subuh harus segera berangkat urusan pekerjaan. Sebelum kami pamit, saudaraku menawarkan kembali supaya kami menginap saja dan besok subuh pulang. Lagi-lagi ayah menolak.

Kami muali berjalan meninggalkan kampung tersebut, suasana malam yang sedikit berbeda waktu itu, dan gerimis hujan mulai turun membuat kami mempercepat langkah. Suasana sudah begitu hening, tak ada satu orangpun yang kami temui selama diperjalanan, hanya kami ber empat. Semua berjalan lancar dan tidak ada gangguan apa-apa. Sampai akhirnya, kami harus melewati kebun kopi yang ada di bawah kaki bukit sebelum menuju track sawah.

Kebun kopi ini cukup luas, jalan yang kami lewati cukup sempit. Kami harus menerobos kebun itu, karena memang tidak ada jalan setapak yang biasa di lewati oleh pejalan kaki. Di tengah-tengah kebun, tiba-tiba pamanku tertawa sendiri. Sontak, kami kaget dan sedikit takut, karena tertawanya cukup aneh. Sampai-sampai lampu patromak yang sedang dipegang oleh ibuku terjatuh, minyaknya tumpah, kacanya pecah dan cahayanya mati. Ayahku mulai menenangkan paman yang sedang tertawa-tawa, aku memeluk ibuku sambil baca ayat-ayat yang aku hafal. Setelah beberapa menit, pamaku terjatuh lalu ayahku memopongnya berjalan. 

Kami masih ketakutan, mencoba untuk mempercepat lagi langkah. Setelah keluar dari kebun kopi, kami berjalan di jalan setapak menuju sawah sebelum sampai kerumah. Namun, di tengah perjalanan sebelum memasuki persawahan, di tengah-tengah hutan, pamanku tiba-tiba berteriak kencang, ia guling-guling di tanah sambil menutup telinganya. Ayahku memberanikan diri untuk terus memegangi adiknya itu.


“Istigfar mang Istigfar”

Ibuku menangis, aku memeluk kembali ibuku dengan ketakutan. kami belum mengetahui apa yang terjadi dengan paman, belum ada yang berani menanyakan apa yang terjadi. Setelah beberapa saat kemudian, paman tidak lagi berteriak-teriak. Ia masih tersungkur di tanah, nafasnya memburu, matanya melotot dan perlahan melepaskan tangannya dari kedua telinga yang ia tutup. 

kami terus menerobos gelap, melanjutkan langkah. Namun, sesuatu yang aneh terjadi lagi dengan paman, ketika kami sudah hampir sampai di rumah. Di jalan setapak persawahan, kami berjalan berbaris, ayahku paling depan, kedua aku, dibelakangku ibu dan pamanku. Karena merasa penasaran, ibuku bertanya kepada paman apa yang sebenarnya terjadi. Namun, beberapa kali ibu memanggil paman, ia tak pernah menjawab, tak ada suara apapun bahkan suara nafasnya. Kaget bukan kepalang, ketika ibu menengkok ke belakang ternyata paman tidak ada. Ia berteriak dan segera memberitahu ayah.

Karena ketakutan, ayah memutuskan untuk pulang terlebih dahulu kerumah dan meminta bantuan orang kampung untuk mencari paman. Kami melangkah begitu kencang di tengah jalan setapak persawahaan. Sesampainya di depan rumah, kami terkaget-kaget mendapati paman sedang tergeletak di depan pintu rumah tak berdaya. Kami langsung berlari dan memberikan pertolongan. Membawanya masuk kerumah. Karena takut, kami membangunkan saudara-saudara yang lain, kebetulan, tetangga rumah adalah saudara. Kami berkumpul, dan mulai menanyakan apa yang terjadi sepanjang perjalanan.

Paman bercerita, saat di kebun kopi tadi, ia melihat seorang perempuan berbaju putih dengan mata yang sangat tajam dan rambut yang panjang berdiri di samping pohon kopi. Tiba-tiba perempuan itu melesat cepat menabrak paman, lalu paman tertawa-tawa karena si perempuan itu masuk kedalam dirinya, ia merasa engap dan kedinginan. 

Di hutan, ia melihat segerombolan orang orang, membawa tandu keranda yang berisi mayat, sambil berucap la illaha illallah layaknya orang yang sedang menggiring orang mati menuju liang lahatnya, mereka berbaju hitam namun tak bermuka, semuanya berjalan sambil berteriak, ada yang menangis, ada yang tertawa. Sebab itu, paman menutup telinga dan berteriak-teriak ketakutan.

Ketika di sawah, paman berjalan paling belakang. Tiba-tiba ada sesosok mahluk yang tidak begitu jelas bentuknya terbang. Ia menghampiri paman lalu menutup kepalanyanya, mulut dan matanya, seperti diculik. Karena ketakutan yang sangat luar biasa, akhirnya paman pingsan, lalu bangun-bangun sudah berada di rumah.

Kasus seperti ini memang belum pernah terjadi sebelumnya. Kami berusaha untuk tidak memceritakan hal ini kepada orang lain untuk menjaga kondusifitas di kampung. Ternyata, gangguan-gangguan tersebut tidak hanya terjadi kepada paman. Beberapa minggu kemudian, ada juga yang diganggu. Seseorang melihat bayangan tubuh yang begitu besar di tengah hutan tapi tidak berwujud. 

Kejadian demi kejadian terus terjadi. Masyarakat di desa kami coba untuk mulai memaklumi, karena bagaimanapun hal-hal ghaib adalah bagian dari hidup kita, selama mereka tidak mengganggu dengan hal yang aneh-aneh seperti pesugihan, siluman dan lain-lain. Kami mulai berusaha untuk bersahabat dengan mahluk ghaib, ditambah hutan dan tempat sepi adalah rumah meraka dan tak jauh dari rumah kami.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )