Talak, sesuai Undang-Undang atau Agama ?





Jatuhnya Talak, Sesuai Undang-Undang atau Agama ?

Masih menjadi persoalan di tengah masyarakat tentang kapan jatuhnya talak suami kepada istri. Dan permasalahan yang lain mengenai perkawinan. Keterbatasan pengetahuan serta buta terhadap hukum, baik hukum syariat atau konvensional masalah perkawinan menjadikan sebagian masyarakat keliru dan gagal faham mengenai masalah perkawinan terunama dalam hal percaraian melalui talak. Apakah talak itu jatuh ketika di pengadilan ? atau hanya cukup dengan perkataan saja ?. penulis mencoba untuk sedikit memberikan penjelasan lewat tulisan yang singkat ini, meski dengan banyak keterbatasan, semoga bermanfaat.

Peraturan masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, tentang perkawinan, dan peraturan pelaksanaanya diatur dalam PP No 09 tahun 1975. Serta aturan lebih khusus untuk orang islam terdapat pada Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sesuai dengan Intruksi Presiden No 1 tahun 1991.

Putusnya perkawinan dalam pasal 38 UUP disebutkan bahwa putusnya suatu perkawinan antara suami dan istri  disebabkan karena kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Sedangkan dalam pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Putuskan perkawinan karena perceraian disebabkan adanya talak dari suami atau adanya gugatan dari istri. Dan yang dimaksud dengan talak adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi sebab putusnya suatu perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam menegaskan kembali dalam pasal 129 yang berbunyi : Seorang suami menjatuhkan talak pada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diagendakan sidang untuk keperluan itu.

Jadi, talak sesuai dengan aturan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia harus melalui Pengadilan Agama dan diucapkan di pengadilan agama, setelah melewati beberapa proses dan prosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Lalu bagaimana talak yang dijatuhkan diluar pengadilan ? yang hanya di ucapkan dengan lisan ?
Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia ( Hal. 100 ) seorang suami diakui menurut hukum, berdasar beberapa hal tertentu berwenang menjatuhkan talak kepada istrinya. Sedangkan menurut Nasrullah Nasutionm S.H., talaq yang dijatuhkan diluar pengadilan hukumnya adalah sah.

Sedangkan menurut Dr. Asroru Ni’am Sholeh Sekertaris Komisi Fatwa MUI, yang di Publis oleh Detik.com pada hari Minggu tanggal 01 Juli 2012. disela sela acara ‘ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Ke –IV di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawabarat Menyampaikan bahwa untuk kepentingan hukum dan kemaslahatan, talak diluar pengadilan harus dilapokan kepada pengadilan.

“misalnya ada suami mentalak istrinya, kemudian istrinya tidak terima dengan hal itu, maka alasan melakukan talak itu bisa diuji di pengadilan. Kalau alasan itu benar, maka talak itu dianggap jatuh, sedangkan tidak benar maka talaq itu tidak jatuh” Kata Sekertaris Komisi Fatwa MUI. Asrosu Ni’am di Pondok Pesantren Cipasung, tasikmalaya, Jawa Barat. Minggu 1/07/2012. (sumber : Detik.com)

Menurut analisis penulis,  dapat simpulkan bahwa Talak yang diucapkan diluar pengadilan secara hukum agama adalah sah. Namun tidak sah secara Hukum yang berlaku di Negara kita. Sebab, jika talak hanya dijatuhkan tanpa melalui pengadilan. Maka akan ada akibat hukum yang tidak maslahat. Justru melewati pengadilan inilah perkawinan masih bisa untuk dipertahankan agar tidak terjadi perceraian. Serta akan melindungi hak-hak perempuan yang di talak. Meskipun talak adalah hak priogatif dari suami, tapi suami tidak bisa semena-mena untuk menjatuhkan talak dengan alasan yang tak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab itulah, untuk menjamin hak-hak dari istri maka talak harus dijatuhkan di pengadilan, atau talak dilaporkan oleh istri bila merasa talak yang diucapkan suaminya itu tanpa dasar yang jelas.

Namun, sangat disayangkan kerap terjadi pembohongan hukum yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang hendak ingin berpisah. Dengan cara melakukan kesepakan untuk bercerai di pengadilan dengan alasan perceraian yang dibuat-buat seolah keluarga mereka tidak harmonis, sedangkan pada faktanya keluarga mereka baik-baik saja dan tidak ada unsur atau faktor yang bisa membuat mereka berpisah atau bercerai sesuai dengan Undang-undang.

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 2, alasan perceraian yang dapat dibenarkan dan dijadikan dasar hukum adalah :

1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

6.      Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;


Kemudian Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan 2 hal yaitu :

1.      Suami melanggar takliq talaq
2.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Pada prinsipnya, persaratan perceraian sangatlah diperlusit. Sebab, bagaimana pun pengadilan tetap berusaha untuk melakukan mediasi kepada para penggugat dan tergugat agar tetap menjalin rumah tangga bersama. Karena rumah tangga dibangun untuk kemaslahatan bersama sama, yang telah dibangun oleh mereka sendiri dan untuk anak-anak meraka. Namun, selalu saja ada manipulasi hukum demi melancarkan niat mereka bercerai. Mungkin inilah salah satu alasan kenapa angka perceraian di setiap pengadilan cukup Tinggi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )