MASKER SYAR’I

Sebagaian orang akan tersinggung ketika membaca judul tulisan ini, ada juga yang nyinyir, dan mungkin ada yang merasa marah. Tak ada maskud untuk merendahkan, apalagi mencela, sungguh jauh dari hal seperti itu. hanya orang yang sombong jika merendahkan orang lain, termasuk menganggap orang lain tidak mengerti apapun. Pintar saja tidak cukup, harus berbagi dengan mereka yang tidak mengerti. Oleh sebab itu tulisan dengan judul yang nyetrik ini akan membahas penutup muka yang hanya memperlihatkan mata saja, atau sebagian orang menyebutnya “Cadar” dari sudut pandang yang sedikit berbeda.

            Fenomena bercadar kembali ramai setelah Rektor UIN Yogyakarta menandatangi Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 tentang pembinaan mahasiswa bercadar dikampus tersebut. Menimbulkan polemik dari berbagai kalangan, ada yang mengakatan bahwa itu melarang hak asasi mereka, jangan mencampurkan agama dan budaya, serta ada yang mengadukan ke Kementrian Agama agar menghimbau kampus-kampus lain tidak melarang kebebasan mereka berekspresi.  Ada juga yang tidak mempermasalahkan hal tersebut, sah-sah saja menurut sebagian pendapat kampus mengeluarkan aturan sepeti itu. mengingat bahwa bercadar bukanlah budaya Islam di Indonesia, bahkan bukan pula budaya Islam secara umum, karena tidak hanya orang Islam yang bercadar, non muslimpun banyak yang memakai cadar.

            Memang, bercadar tidak dilarang secara Undang-Undang, setiap warga negara berhak atas haknya masing-masing selama tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Bercadarpun seperti itu, tidak bertentangan dengan aturan Undang-Undang. Lalu apa yang bertententangan ? ketika mereka menentang idielogi Pancasila dan tidak mengakui sistem yang berlaku di negara ini. secara Hukum, kampus boleh mengeluarkan kebijakannya masing-masing jika memang hal tersebut sesuai dengan kebutuhan kampus tersebut. Begitupun kampus UIN Yogyakarta, sah-sah saja jika mereka ingin melakukan pembinaan terhadap mahasiswinya yang bercadar. atau membina semua mahasiswa dan mahasiswinya, dosen-dosennya, dan semua staff yang bekerja dilingkungan kampus itu sah saja. Apalagi pembinaan tentang pemahaman Pancasila dan Islam Indonesia, tentu sangat bagus.

            Orang mengenakan cadar itu berbagai alasan, ada yang hanya mengikuti tren, ada juga yang ingin terlihat lebih islami, ada yang memang disuruh, ada juga yang memang kebiasaan dari luar yang dibawa ke negeri ini, seperti misalnya orang indonesia yang kuliah di timur tengah, karena mereka disana memakai cadar untuk menyesuaikan dengan budaya sana, kebiasaanya itu terbawa ketika pulang ke indonesia. tapi ada juga yang mengunakan cadar sebab lingkungan, polusi dan debu yang mengganggu dalam beraktifitas. Oleh sebab itu, mereka menggunakan cadar sebagai “masker”untuk melindungi diri dari hal-hal terebut.

            jika ada kebijakan kampus yang melarang untuk bercadar boleh saja kecuali larangan mengenakan jilbab. Memang, tren cadar ini identik dengan golongan tertentu yang mempunyai idieologi yang bertentangan dengan Pancasila, ada juga yang mengindentikan dengan kelompok radikal. Mengutip dari pernyataan KH Ishomudin Rais Syuriah PBNU, bahwa harus di identifikasi kebenaran bahwa bercadar identik dengan radikal, silahkan bercadar asal jangan beridiologi radikal, yang jelas bercadar itu budaya orang timur tengah bukan budaya Islam indonesia.

            mungkin jika dulu Nabi ingin membuat pakaian Khusus orang Islam bisa saja, tapi nabi lebih memilih menghargai budaya lokal, budaya bangsa Arab. Jika diperhatikan, orang yang menggunakan “masker syar’i” itu memang cenderung tertutup. sebab itu, sepertinya memang harus dilakukan pembinaan terhadap mereka yang bercadar. karena kita telah ditakdirkan oleh Allah sebagai orang indonesia, dengan budaya indonesia, suku dan keragamannya lainnya. bukankah itu sebuah ni’mat yang telah diberikan kepada kita ?  

            bukan masalah pelarang penggunaan cadar dikampus seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus UIN Yogyakarta, atau tentang cadar itu syariat islam atau bukan. Tapi ini tentang menjaga warisan leluhur, kebiasaan masyarakat, budaya serta etika yang berlaku di masyarakat umum. Terkadang kelompok seperti mereka jarang ada yang ingin bergaul dengan kelompok lain meski tidak semuanya. Budaya yang dilakukan pun cenderung lebih lekat dengan budaya timurr tengah. Panggilan kepada laki-laki berubah menjadi Akhi, atau perempuan menjadi Ukhti. Panggilan panggilan seperti “akang”, atau “aa” atau “kang mas” sedikit-sedikit dihilangkan, padahal makna tersirat dan tingkat kesopanan dalam penyebutan “akang” untuk laki-laki lebih tinggi dan terhormat secara budaya di Sunda misalnya. Jangan samapai hal-hal seperti itu yang biasa kita lakukan menjadi berubah menjadi Akhi-Ukhti. Tidak salah memang, hanya kurang tepat dalam budaya kita, karena kita itu Islam Indonesia.

            kesimpulannya, negara kita memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memenuhi apresiapi dan haknya selama tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku, Itu adalah  berkah dari Demokrasi. Tapi, perlu diingat bahwa hak seseorang itu dibatasi oleh orang lain. budaya menjadi identitas bangsa, oleh sebab itu segala budaya yang telah ada di Indonesia harus dijaga dan dirawat, jangan sampai hilang itu adalah sebuah berkah yang diberikan. Ketika bangsa lain ingin mengusai negeri ini dengan berbagai cara termasuk menghancurkan budaya dan peninggalan leluhur kita, alangkah tidak etisnya kita malah ingin menerapkan budaya luar. Saat 11 bahasa daerah telah punah karena sudh tidak digunakan dan 4 bahasa daerah sedang krisis, apakah kita akan meninggalkan budaya yang menjadi identitas kita ?.
           
           Wallahu a'lam



           
           




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )