Hari Tanpa Tuhan
Banyak hal yang belum manusia tau, tapi belenggu kesombongan dalam
hati telah menghilangkan akal sehat manusia. Bukan hanya hal buruk, mencintai
yang berlebihanpun akan menghilangkan akal sehat manusia. Sehingga mereka
terlalu mendewakan akal, menjadi tuhan untuk mengajarkan manusia. Sampai mereka
lupa tuhan-Nya.
Sekarang Bukan lagi zaman Rinaissance, dimana orang-orang
telah keluar dari masa kegelapan menuju
pencerahan, ilmu pengetahuan menjadi berkembang dan keluar dari kebodohan. Tapi
ada titik kesalahan dalam zaman itu, yaitu ketika manusia lupa dengan tuhannya
dan lebih mendewakan akal dan ilmu pengetahuan. Padahal, ilmu yang mereka
peroleh adalah berkat rahmat dari Tuhan yang maha kuasa.
Modernisasi seharusnya menjadikan manusia
semakin sadar bahwa ilmu pengetahuan tidak datang sendiri, tapi didapat atas
hasil kerja keras dan usaha, belajar, sungguh-sunggu, serta berdoa. Ada
sekelompok orang yang tidak percaya terhadap doa, ada pula yang terlalu
menggandalkan doa tanpa usaha. Semua itu harus bersinergi, doa dan usaha serta
lapang dada dalam setiap hasil itu penting.
Manusia diciptakan dengan kekurang dan kelebihan, oleh sebeb itu
mereka hidup bersama dan berkumpul, saling melengkapi, juga saling mengerti.
Dianugrahi panca indra yang tidak dimilki oleh mahluk Tuhan yang lain. secara
hukum alam, manusia mempunyai naluri dan nurani dalam hal apapun. Memang, orang
sekarang lebih melihat penampilan luar daripada yang tersembunyi didalam.
Bukan, ini bukan tentang cara
manusia bertuhan, atau tentang manusia menemukan tuhannya. Tuhan tidak
membutuhkan kita, tapi kita yang membutuhkan Tuhan. Buktinya kita selalu berdoa
dan memohon segala sesuatu kepada tuhan agar dilaksanakan. Ini tentang manusia, ya manusia yang mengakui
Tuhan tapi malah menjadi Tuhan. Manusia yang sebenernya hamba tapi bertindak
menjadi Tuhan.
Hari demi hari, tak ada yang berbeda dan berarti. Semuanya sama
seperti hari-hari biasanya. Problematika manusia zaman sekarang, mengajarkan
kemanusian tapi mereka bertindak sebagai Tuhan, bukan sebagai manusia. Harusnya
kita menjadi manusia terlebih dahulu untuk mengajarkan rasa kemanusian atau
tentang kehidupan, tapi kita lebih sering bertindak sesukanya, tanpa batasan,
tanpa pengetahuan, dan menghakimi seseorang itu suci atau kotor. Baik atau
burut seseorang tidak berada ditangan kita.
Harusnya, kita menjadi penguasa untuk diri sendiri. Bukan menjadi
budak, budak dari keegoisan dan kesombongan, budak dari hawa nafsu, budak dari
fikiran yang terbelenggu tanpa kebebasan. Sepertinya, kita memang tidak sadar
bahwa kita dalam kondisi “keterpurukan” moral, kemunduran akhlak, dan hilangnya
nurani. Disaat sibuk memikirkan cara mengubah dunia, mengubah sistem, mengubah
masyarakat, kita telah lupa cara untuk merubah diri sendiri, dan cara kebebasan
berfikir yang benar.
hening malam tidak membuat kita merenung, kita sibuk berfikir besok
makan apa, padahal di lain waktu dan tempat, orang lain dengan nasibnya
merenung esok ia bisa makan atau tidak. Padahal, bukankah syukur menjadi alat
yang paling ampuh untuk menjadi tenang dan tidak takut berfikir miskin. ?
Setaip harinya, jutaan orang jatuh miskin. Karena mereka telah
berfikir takut menajdi orang miskin. Atau mereka yang merasa merasa bertindak
adil, dengan menjadi Hakim lebih dari yang Maha adil. Saat seorang melakukan
kejahatan dan keselahan, semisal kasus Ojek Online yang mengahakimi pengemudi
mobil beberapa waktu lalu. Padahal lain waktu dan tempat mereka tekenal sebagai
pengemudi yang ramah dan sering menolong, jangan sampai citra itu hulang oleh
segelintir orang.
Ketika seorang melalukan salah itu, lalu dihakimi oleh masa tanpa
sebab dan proses. Kita melihat orang melakukan kesalahan, dan dia harus
diadili. Lalu melihat masa yang menghakimi hal itu, kita merasa itu adalah sebuah
keadilan untuk orang yang salah. Sangat menggelikan, mengadili seseorang dengan
cara yang tidak adil. Lalu, kita pun menjadi ragu akan sebuah keadilan yang
benar-benar adil.
Bukan, lagi-lagi ini bukan masalah seringnya main hakim sendiri di
tengah masyarakat, bukan tentang keadilan yang kita inginkan, keadlian yang
benar-benar adil. Ini tentang penegakan hukum, karena negara kita negara hukum,
punya aturan yang harus dijalankan oleh semua orang, ada namanya asas praduga
tak bersalah, supaya bisa diproses kebenaran dan dibuktikan dengan bukti yang
kuat dalam setiap perkara yang diproses.
Mungkin sebagian orang akan berkata “ah, penegak hukum sudah tidak
bisa dipercaya, mereka hanya membutuhkan uang-dan uang, jika tidak ada uang
mungkin kasus yang kita adukan tidak akan diproses” dan sebagian orang lagi
berfiki bahwa penegak hukum sudah maen politik dan kepentingan, jika berbeda
kepentingan mungkin kita tidak akan didahulukan, belum lagi mereka yang korup.
Bukan, ini bukan masalah kekurangan yang dimiliki oleh mereka, tapi
ini tentang menjalankan prosedur hukum dan menghormati aturan. Kita kita akan
menjadi adil jika mengadili oang yang bersalah tanpa proses yang benar. Cukup,
kita sudah tidak hidup dijaman batu, kita bukan manusia purba, juga kita sudah
melewati zaman The Dark Age yang benar-benar bodoh. Atau mungkin, inilah
problematika manusia zaman sekarang, merasa benar atas orang lain dan mempunyai
hak untuk melakukan tindakan sesuai keinginan masing-masing individu.
Lagi, problematika manusia zaman sekarang lebih suka membaca
status, caption, dan kometar dimedia sosial yang dipublis oleh akun perorangan
atau kaun tertentu. Lalu mereka terkena pengaruh, hasutan dan opini mereka
tergiring oleh kata-kata yang dipublis. Kemudian menyimpulkan sesutau atas yang
mereka lihat tanpa pendekatan terlebih dahulu, tanpa mencari informasi dari
sumber lain, dan tanpa belajar. Hal ini menyebabkan orang lebih suka
mengomentari sesuatu tanpa hal dan dasar yang jelas, juga tanpa solusi. Lalu
melegitimasi alasan apapun untuk membenarkan argumentasinya. Filosofi padi
harus kita pakai, padi semakin berisi maka akan semakin menunduk, begitu juga
Ke ilmuan manusia.
Bukan hanya itu, tiap memontum pilkada atau hal lain yang sifatnya
berhubungan dengan “pergantian pemimpin”, maka media sosial selalu menjadi alat
yang paling ampuh untuk berkampanye, bersosialisasi, menggiring opini, dan
menyerang lawan. Tidak salah jika media sosial itu digunakan sebagai alat
kampanye dan sosialisasi, yang salah adalah mengiring opini yang tidak baik
dimasyarakat, demi kepentingan segelintir orang tanpa menperlihatkan dan
memperhatikan dampak yang terjadi di masyarakat. Ah, atau mungkin mereka
menetahui hal itu, tapi mereka tidak peduli yang penting menang.
Ini hanya Pilkada kawan, bukan perang. Yang selalu ribut itu mereka
yang tidak mengerti, memang dalam proses pemilihan akan selalu ada partai yang
berkoalisi lalu membentuk keuatan dan akan ada partai koalisi lain yang menjadi
lawan. Seperti koalisi Jokowi dan Prabowo dalam menghadapi Pilpres 2019 nanti. Mereka
itu lawan politik, bukan musuh. Mereka itu mempunyai kepentingan politik,
mereka pasti bertemu, tim inti dari koalisi-koalisi ini pasti bertemu dan
berbicara tentang strategi. Sebagian dari kita mungkin tidak akan percaya, tapi
secara logika umum itu pasti, dan yang namanya strategi mana mungkin dibeberkan
dimedia, atau pembicaraan-pembicaraan politik yang tak kita tahu sebenanrnya
sudah dibicarakan.
Ada bagian dimana masyrakat harus tau dan ada bagian dimana
masyarakat tidak perlu tahu. Seperti kehidupan kita sendiri, ada ranah privasi
dan ranah umum. Mana yang boleh orang lain tau dan mana yang tidak boleh. Lalu,
kenapa kita yang harus selalu ribut ? yang selalu bertengkar tanpa sebab,
berawal dari saling serang dimedia sosial kemudian dibawa kedunia nyata. Apa penyebabnya
?, manuver politik, oknum, isu SARA, pengujar kebencian, Berita Hoax, dan opini
publik yang di bangun dengan tidak sehat. Sehingga publik digiring untuk saling
serang dan fanatik buta terhadap salah satu calon.
Sudahi perpecahan, stop isu Sara, Pemilihan itu sementara,
kerukunan harus dijaga semalanya. Jadilah masyarakat yang cerdas, saling
menghargai, saling mengerti dan saling memahami. Meraka orang-orang pendatang
baru yang tidak tahu tentang Indonesia biasanya akan membuat gaduh, membuat
hal-hal baru supaya kita meninggalkan tradisi bangsa, warisan para leluhur,
yaitu persatuan dan kesatuan. Pancasila bukan hanya sekedar kata, Garuda bukan
soal lambang negara, Bhineka Tunggal Ika bukan hanya tujuan. Semunya adalah
pedoman bagi kita untuk merawat dan menjaga Indonesia.
Bukan, lagi dan lagi, ini bukan tentang Pilkada, Pilkades, Pilpres
dan macam pemilihan lainnya. juga bukan tentang politik yang selalu indentik
dengan intrik meng-intrik. Juga bukan tentang keadilan, atau keagamaan, Apalagi
tentang percintaan. Lebih besar dari segala masalah, manusia harus lebih besar
dari masalah yang ada.
Ini tentang manusia, manusia
yang lupa bahwa ia adalah manusia. Manusia yang lupa bahwa kita diciptakan
sebagai manusia, tentang manusia yang lupa bahwa manusia itu mahluk yang
sempurna. Oleh sebab itu, sayangilah manusia, cintailah manusia, kasihilah
manusia dan, manusiakanlah manusia.
That'is good
BalasHapus