Di Halaman Belakang Rumah
Suatu malam yang hujan. Saya iseng pergi ke teras belakang
rumah. Menikmati kopi yang saya giling sendiri, sambil menyetel lagu ala
anak-anak indie. Selera musik saya random, apa saja yang penting enak di Telinga. Tidak perlu diskusi panjang mengenaik musik, selera orang beda-beda.
Simpelnya, tidak boleh ada diskriminasi karena perbedaan selera musik.
Apalagi kalau bukan bermain handphone dan berseluncur di
media sosial sambil liat orang-orang update tentang hujan, atau membaca quote-quote
tentang hujan dan kenangan. Dari sekian banyak kata-kata tentang hujan, malam
itu ada yang mencuri perhatian saya. Kira-kira begini bunyinya
“ saat hujan ingatnya mantan, saat gempa ingatnya tuhan”
Sontak saya mesem-mesem sendiri. Sedikit nyeleneh tapi menyadarkan.
Di tengah krisis emosional dan kehuasan dahaga spiritual. Agak baiknya mungkin
kita meluangkan waktu untuk sendiri, jauh dari keramaian, evaluasi dan
mendengarkan pesan dari alam bawah sadar.
Beragama sepertinya tidak cukup hanya dengan beribadah. Ikatan
batin harus dijalin sebisa mungkin. Baik itu sesama manusia atau sama sang
pencipta. Lagi-lagi, doa adalah media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagiaman
kalau doa kita gak khusu, apa iya masih bakal didengar Tuhan?
Gini, kalau kata Rumi. Jika engkau belum bisa berdoa dengan
khusu, tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan.
Karena Tuhan dengan rahmatnya akan tetap menerima uang palsumu. Jadi, berdoa saja
gak perlu minder. Tuhan maha pengasih dan maha penyayang. Tapi, bukan berarti
kita jadi menggampangkan ya.
Sebagai orang biasa aja dan gak soleh-soleh amat. Saya malah
terbawa pola bergama yang dogmatik, kaku, Apa-apa harus rasional, dan paling
parah, beragama secara tekstual. Jadi, segala masalah yang tidak ada dalilnya
dan gak rasional, itu tidak bisa dibenarkan. Padahal, ada juga yang harus
dibangun selain itu, chemistry.
Hujan memang paling bisa membawa fikiran saya travelling kemana-kamana.
Di Teras belakang rumah, sendirian. Saya malah memikirkan
hal yang gak penting-penting amat. Kenapa sih masih banyak orang yang takut
sama bencong? Maaf, kepribadian gender yang bertentangan dengan kodratnya.
Misalnyanya gini, ketika di tempat nongkrong, ada pengamen yang datang. Ada orang yang harus bela-belain mengeluarkan uang
recehan untuk di kasih. Bahkan ada juga yang tidak enak kalau gak ngasih. Tapi,
kalau ada orang yang datang dengan pakaian yang tidak wajar, laki-laki memakai
pakaian seperti perempuan sambil membawa sound kecil dan berjoget. Orang-orang
pada lari, katanya sih jijik dan takut. Tapi ada juga memang yang memberi recehan
dengan harapan orang itu cepat pergi.
Melihat kejadian seperti itu. Ada dua hal yang bisa saya tangkap. Pertama, kalau ada ya ngasih, kalau gak ada cukup lambaikan tangan sambil senyum dan ucapkab maaf.
Kedua, sepertinya kita masih belum bisa menerima keberadaan
orang-orang dengan prilaku yang menyimpang. Kalau saya dikasih pilihan, ngasih
uang ke pengamen atau waria. Saya Akan ngasih waria.
Tanpa mengurasi rasa
hormat terhadap semua profesi. Paling tidak, Pengamen masih bisa di terima
di masyarakat dan punya pulang untuk pekerjaan lain. Waria? Jangankan diterima,
keberadaannya saja di takuti. Bisa jadi pekerjaan itu satu-satunya jalan dia bertahan hidup.
Terlalu banyak memikirkan hal seperti itu membuat saya
mengantuk. Di sela-sela hujan mau reda. Saya teringat sebuah pesan singkat dari
ibu. Katanya, sesekali cobalah pikirkan diri sendiri dan keselamatan keluarga,
kita orang biasa-biasa saja. Kalau belum bisa melakukan apa-apa untuk orang
lain, paling Tidak jangan merugikannya.
Sepertinya berjuang bukan lagi pilihan, tapi sebuah
keharusan. Saya meninggalkan halaman belakang rumah dengan kepala yang hampir
meledak. Melupakan malam, melupakan hujan. Melupakan sebatang rokok di asbak
yang belum sempat saya padamkan. Tidur.
Komentar
Posting Komentar