Desa dan Belajar Online











Setiap pulang kampung,  Saya selalu menyempatkan  berkunjung ke rumah sodara, teman atau guru untuk menyambung silaturahmi.

Kunjungan itu biasanya saya lakukan berkala. Tergantung kepentingan,  keinginan dan rasa kangen. Skala prioritas tentu di butuhkan jika hanya beberapa hari di rumah. Sebetulnya, Ingin sekali berkunjung ke setiap orang yang ada di desa. Sekalian berkenalan kembali dan nostalgia. Sebab, sejak SMP sampai lulus kuliah saya lebih banyak menghabiskan Hari di kampung orang. Dari mulai mondok sampai bekerja. jarang sekali saya bertemu orang-orang selain keluarga terdekat ketika di rumah.

Pada suatu libur kerja. Saya memutuskan untuk pulang ke kampung selama tiga hari. Menikmati suasana di kampung dengan segala keindahannya.

Kampung saya yang terletak di antara bukit dan hamparan sawah. Tentu menjadi hal menarik bagi orang-orang kota. Entah untuk berfoto atau menikmati suasana alam. Kalau magrib datang, suara jangkrik terdengar lebih keras, macam-macam. Belum lagi dingin malam yang menusuk sampe ke tulang.

Kalau pagi datang, orang-orang sudah bergegas pergi untuk beraktifitas. Ada yang jualan dengan gerobak, ada yang membawa cangkul, ada yang memanggul jamu. Tidak Terdengar bising knalpot atau klakson kendaraan yang pergi terburu-buru, atau sumpah serapah orang-orang yang gak sabar karena macet.

 Di kampung saya, setiap pagi hanya terdengar  suara katak bernyanyi di sawah, berlomba-lomba meninggikan volume suara. Juga suara burung yang terdengar begitu bebas di alam tanpa kandang. Kalau matahari mulai bersinar. Ayam mulai mengambil peran, suaranya terdengar di setiap penjuru rumah.

Suatu pagi, pada hari kedua di rumah. Saya bersilaturahmi ke rumah Abah, murid dari alm kake.

Jarak tempuh ke rumah abah membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dengan motor. Melewati berhektar-hektar sawah, kebun teh, pohon pinus, dan perbukitan.  Meski perjalanan memakan waktu cukup lama tapi tidak begitu membosankan karena mata bisa ikut bertamasya sepanjang jalan.

Di rumah Abah, kami duduk di teras depan rumah yang berhadapan langsung dengan sawah. Padi sedang digebuk untuk digiling. Hari itu panen raya.

Wajahnya tidak banyak berubah. Perawakannya yang tinggi besar dengan kulit sawo matang dan rambut panjang menyentuh pundak. Abah tetap gagah dan garang, walau umurnya sudah tak muda.

Untuk melepas rasa kangen, kami saling bertukar cerita.

Abah sangat irit dalam bicara, sangat santun, dan jarang membicarakan hal yang tidak penting. Mulutnya selalu ngebul, rokok jarang sekali lepas dari bibirnya. Barangkali itu yang membuatnya irit bicara.

Saya mulai bercerita tentang keadaan dan aktifitas selama di kota. Mulai dari kuliah, pekerjaan, kegiatan, hobi. Kemudian menceritakan bagaimana suasana di kota dan orang-orang di sana. Tentu dengan bahasa anak kepada bapaknya., bukan dengan bahasa anak-anak kota pada umumnya. Setinggi apapun pendidikan, di hadapan orang tua kita tetaplah seorang anak.

Ketika saya mulai menceritakan bahwa kota lebih menarik dari pada desa. Abah langsung berubah, dari tatapan matanya saya menduga, kota dalam dunia fikiran abah adalah tempat yang begitu anarkis. Korupsi, Pelecehan, kekerasan dan ketidak adilan. Belum lagi tembok-tembok yang berdiri angkuh membelah kemanusiaan. Seketika, saya menghentikan cerita. Menyalakan rokok, meminum kopi. Kami terdiam.

“bagaimana kabar di sini, bah?” saya mencoba memecahkan suasana.

Abah bercerita tentang sulitnya anak-anak belajar online. Sedikit kaget, karena biasanya ia hanya bercerita tentang kambing-Kambing dan lahan sawah. Saya menyimak.

“Anak-anak di kampung itu jangankan belajar online, datang ke sekolah dan bertatap muka saja belum tentu mengerti. Banyak yang belum punya HP, akses internet juga tidak merata, kalau mau cari sinyal harus naik ke atas bukit atau pergi ke tengah sawah yang panas. Pernah sekali, cucu saya ikut belajar online, kelas 5 SD. Ia pergi ke tengah sawah siang bolong, mencari sinyal. Kemudian dapat materi yang sebetulnya di internet juga ada, tak perlu di sampaikan oleh guru, bisa di cari sendiri. Pokonya masih banyak sekali kendala. Kasihan anak-anak, apa ini cara mereka membuat bodoh orang-orang kampung supaya tidak ngerti pelajaran sekolah dan pengetahuan umum.....”

Ketika mendengar kalimat terakhir. Cepat-capat saya potong, lalu mengalihkan pembicaraan kepada hal-hal yang lebih ringan. Saya tidak coba menjelaskan, karena bagaimanapun penjelasan saya tidak bisa di terima.  Jadi lebih baik kita bicara tentang sesuatu yang lebih dekat dengan keseharian. Saya tidak mau pertemuan ini menjadi perdebatan kusir.

Berjam-jam kami saling bercerita dan tertawa. Kalau saya tulis semua ceritanya di buku diary, akan menghabiskan berlembar-lembar kertas.

Adzan ashar berkumandang, langit mulai hitam. Selesai solat, saya pamit pulang.

Sial, di tengah perjalanan pulang kepala saya di penuhi fikiran soal belajar online di kampung yang abah ceritakan. Ada benarnya juga. Mungkin harus dicari solusi lain, atau metode lain supaya pendidikan merata dan anak-anak di kampung bisa ikut belajar tanpa kesulitan walau tidak datang ke sekolah. Kemudian, pada akhirnya kita juga harus menemukan kebaruan perspektif dalam melihat Indonesia yang biasa kita lihat hanya lewat kacamata Jakarta.

Di Kampung, 21 Juli 2020




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )