PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI
PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI
Tujuan hukum adalah menciptakan rasa aman kepada
setiap warga negaranya, sehingga setiap warga negara berhak untuk mendapatkan
perlindungan di muka hukum. Oleh karena itu untuk menjamin berlangsungnya hukum
secara baik minimal membutuhkan tiga komponen yang saling menunjang. Yaitu
penegak hukum yang baik, kesadaran hukum masyarakat, dan kejelasan peraturan. norma-norma
yang hidup ditengah masyarakat tidak boleh diabaikan demi menghasilkan prodak
hukum yang bisa dipatuhi oleh semua komponen masyarakat. Norma-norma hukum yang
hidup ditengah masyarakat menjadi salah satu sumber hukum disamping norma-norma
yang lain. Termasuk hukum perkawinan dan akibat hukum yang terjadi pasca
perceraian. Hukum yang hidup ditengah masyarakat tentang hukum perkawinan tidak
dapat dilepaskan dari hukum adat yang berlaku dimasyarakat.
Perceraian merupakan peristiwa hukum yang
mengakibatkan akibat-akibat hukum, salah satunya adalah pembagian harta
perkawinan. Pembagian harta perkawinan menjadi sangat krusial pasca
perceraian. Pembagian harta kekayaan
yang dimaksud diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) yang
menyatakan “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Selanjutnya, pasal 37
Undang-Undang Perkawinan Menyebutkan bahwa “Bisa perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. dalam penjelasan pasal 37 tersebut, yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum
agama, hukum adat, dan hukum yang lain. Oleh karena itu, untuk orang yang
bergama islam maka diatur melalui Kompilasi Hukum islam.
Tentang kedudukan harta bersama, Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan secara terperinci. Harta bersama hanya diatur
dalam beberapa pasal saja, yaitu pasal 35, 36 dan 37. Pengertian harta bersama
menurut pasal 35 adalah “harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”. Pengaturan harta bersama yang lebih lengkap bisa dilihat pada
Kompilasi Hukum Islam. Inpres No 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hokum islam
(KHI) di Bab 1 pasal 1(f) menyebutkan bahwa
“harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau suami istri selama dalam perkawinan
berlangsung selanjutnya disebut harta bersama”
Harta bersama merupakan harta yang diperoleh
sepanjang perkawinan. Harta bersama dimulai semenjak dilangsungkannya
perkawinan hingga perkawinan itu berakhir karena perceraian, kematian atau
putusan pengadilan. Adapun harta bersama meliputi :
1.
Harta yang
diperoleh sepanjang perkawinan itu berlangsung
2.
Harta yang
diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak ditentukan
demikian
3.
Utang-utang
yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali merupakan harta pribadi
masing-masing suami isteri
.
Harta benda yang termuat dalam undang-undang
perkawinan tentu berbeda dengan harta benda yang dimaksud dalam Kitab
Undang-Udang Hukum Perdata. Karena, harta benda yang dimaksud dalam KUH Perdata
meliputi hak kebendaan. Sedangkan Perkawinan merupakan ranah pribadi atau hokum
orang. Oleh karennya hal itu perlu di fahami terlebih dahulu. Harta bersama
dalam Undang-Undang Perkawinan di Jelaskan dalam Pasal 35-37. Lalu, KUH Perdata
dalam pasal 128 sampai 129 menetukan bahwa apabila putusnya tali perkawinan
antara suami-istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri tanpa
memperhatikan dari pihak-pihak mana barang itu diperoleh.
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Masing-masing suami istri terhadap harta yang diperoleh
sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing para pihak
selama para pihak tidak menetukan hal lain. Tentang harta bersama ini, suami atau
istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu selama
disetujui oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak mempunyai kecakapan untuk
berbuat hokum dalam menetukan harta bersama tersebut ketika perkawinannya telah
putus karena alasan perceraian, maka harta bersama tersebut dapat diatur
menurut hukumnya masing-masing. dalam penjelasan pasal 37 Undang-Undang
Perkawinan, yang dimaksud dengan “hokum
masing-masing” yaitu, hokum islam, hokum adat, dan hokum yang lain-lain.
Oleh karena itu, untuk yang beragama islam maka diatur melalui Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawina jo. Pasal 87
ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa “ istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hokum terhadap
harta pribadi masing-masing”. pengelolaan harta tersebut berhak diatur
tanpa campur tangan suami atau istri untuk menjualnya, menghibahkan, atau
diagukan.
Seorang istri tidak memerlukan bantuan suami
dalam melakukan tindakan hokum atas hartanya. Ia bisa melakukan tindakan hokum
sendiri karena sudah cakap dan tidak ada perbedaan antara suami dan istri di
hadapan hokum. Ketentuan itu bisa dilihat dalam pasal 86 Kompilasi Hukum Islam,
dimana ditegaskan bahwa tidak ada percampuran antara pribadi suami-isteri
karena perkawinan dan harta isteri tetap mutlak jadi hak isteri dan dikuasai
penuh olehnya, begitu juga harta suami mutlak dikuasai penuh olehnya.
Hak suami dan istri mengunakan harta bersama
atau melakukan tindakan hokum atas harte bersama harus berdasarkan persetujuan
kedua belah pihak adalah wajar. Seorang isteri mempunyai kedudukan dan hak yang
sama dalam keluarga maupun kehidupan bermasyarakat. Masing-masing suami maupun
isteri mempunyai hak dan tidak dibedakan dalam melakukan perbuatan hokum. Hal
tersebut dijelaskan dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pada bagian Hak dan Kewajiban suami istri.
Pengaturan harta kekayaan pada pasl 35, pasal
36, pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 86 sampai Pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam. Pada akhirnya menjelaskan tanggung jawab masing-masing suami
isteri, baik antara mereka sendiri maupun pihak ketiga. Dalam pasal 89 dan 90
Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta
bersama, harta istri maupun hartanya sendiri. Isteri juga mempunyai tanggung
jawab yang sama untuk menjaga harta bersama, harta suami maupun harta
kekayaannya sendiri.
Harta bersama suami istri baru bisa dibagi
setelah perkawinan berakhir atau telah terputus. Hubungan perkawinan tersebut
bisa terputus karena perceraian, kematian dan putusan pengadilan. Pembagian
harta bersama pasca putusnya perkawinan karena perceraian tidak ditentukan
bagiannya dalam pasal 37 Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Sebaliknya, Kompilasi
Hukum Islam Pasal 96 dan 97 diatur tentang pembagian harta bersama atau syirkah
ini apabila terjai perceraian. Yaitu masing-masing mendapat separuh bagian dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian kawin. Dari ketentuan
tersebut bisa di fahami bahwa harta bersama akan dibagi sama banyak atau
seperdua untuk suami, seperdua untuk istri dari harta kekayaan yang sudah
dimiliki. Hal tersebut bisa melalui Pengadilan.
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 91
menjelaskan bahwa yang termasuk harta bersama adalah benda berwujud dan benda
tidak berwujud. Adapun benda berwujud meliputi :
a.
Benda
tidak bergerak seperti rumah, tanah, pabrik.
b.
Benda
bergerak seperti perabot rumah tangga, mobil.
c.
Surat-surat
berharga seperti Obligasi, Deposito, Cek, Bilyet Giro, dll.
Adapun
benda yang tidak berwujud dapat berupa :
a.
Hak,
seperti hak tagih terhadap piutang yang belum dilunasi, hak sewa yang belum
jatuh tempo.
b.
Kewajiban,
seperti kewajiban membayar kredit, membayar hutang-hutang.
Pengaturan harta bersama dalam KHI tentu lebih
komplit dibanding dengan Undang-Undang Perkawinan. Selain itu, KHI juga
mengatur masalah activa dan passive. Hal tersebut bisa diliat dalam
ketentuan pasal 91 ayat 3, yang berbunyi :
“harta bersama yang tidak berwujud dapat
berupa hak dan kewajiban”. Hak disini juga menunjukan activa. Sedang kan kewajiban adalah passive untuk membayar hutang. Oleh karena itu, ketia seorang suami
isteri bercerai, maka harta bersama yang dibagikan bukan hanya yang bersifat active, tetapi kewajiban passiva membayar hutang juga harus
dibagi bersama-sama.
Sebelum berlakunya Undan-Undang No 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan untuk mengadili sengketa harta bersama
termasuk orang islam, berada pada lingkup peradilan umum. Alasan adalah harta
bersama termasuk kedalam golongan hokum adat. Undang-Undang Perkawinan tidak
menunjuk secara jelas dalam pasl 35 sampai 37 tentang pembagian harta bersama
untuk orang islam dilakukan secara hokum islam. Pada intinya, Undang-Undang No
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 09 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tidak mengatur secara terperinci tentang harta
bersama bila terjadi perceraian.
Jadi, bila suatu perkawinan putus karena perceraian, maka harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi milik bersama dan dibagi seperdua kepada suami dan seperdua kepada isteri sesuai amanat lain, kecuali ditentukan oleh aturan lain atau perjanjian kawin. suatu harta dapa dihitung sebagai harta bersama semenjak tanggal pernikahan yang sah secara agama maupun negara. sehingga saat terjadi putusnya perkawinan maka harta tersebut harus dibagi sama rata, baik itu yang bersifat activa (hak) maupun yang bersifat Pasiva (kewaiban) seperti hutang piutang. maka pembayarannya pun harus dibagi menjadi dua.
Komentar
Posting Komentar