Pernikahan Transgender





 BAB 1
Pendahuluan

  1. Latar Belakang

Perkawinan merupakan ikatan yang suci secara lahir dan batin, oleh sebab Itu sebelum melakukan perkawinan maka harus terlebih dahulu untuk memiilih dan memilah pasangan hidup kita. Tentu, dalam hal ini tidak semua wanita atau pria bisa untuk dinikahi. Ada syarat dan larangan tertu dalam pernikahan, salah satunya adalah calon mempelai harus berbeda jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Syarat lainya adalah bukan mahrom-nya.

Salah satu tujuan dari pernikahan dalam Islam adalah untuk menyempurnakan separuh agama. Selanjutnya, tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk memperoleh manfaat dan melangsungkan keturuan. Maka dapat dilihat bahwa tujuan pernikahan dalam rangka memperoleh keturuan yang baik, soleh atau solehah sehingga menjadi generai yang berkualitas.

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Dalam pasal selanjutnya, pasal 2 ayat (1) di jelaskan bahwa perkawian itu sah bila di jalankan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.

Namun, akhir-akhir ini banyak fenomena dalam perkawinan yang dianggap biasa padahal fenomena tersebut masih belum mempunya ketentuan hukum yang tetap. Salah satunya adalah “Perkawinan Transgender” yang menjadi fenomena masyarakat Indonesia maupun dunia. Pro dan kontaa mengenai Transgender ini masih belum selesai. Sehingga makalah ini akan membahas tentang “perkawinan transgender” yang menjadi fenomena akhir-akhir ini.


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belang di atas, dapatlah kita rumuskan beberapa masalah diantara :
1.      Bagaimana status Hukum Perkawinan Transgender dalam Islam?
2.      Bagaimana Perkawinan Transgender menurut undang-undang?


                      BAB II
Pembahasan
  1. PENGERTIAN TRANSGENDER

Transgender dipahami dengan sekelompok orang yang mengalami transformasi gender. Selain itu definisi transgender merujuk pada seseorang yang bertransisi di antara dua orientasi seksual dengan menggunakan hormon seksual atau dengan jalan operasi, memindahkan atau memodifikasi alat genitalnya dan organ-organ reproduksinya.

Isu-isu transgender merupakan isu yang bisa dikatakan isu baru dalam khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan. Bahkan istilah transgender itu dipopulerkan ditahun 1970-an, di mana istilah ini disematkan untuk menggambarkan seseorang yang mengganti identitas gendernya tanpa melakukan perubahan pada organ seksnya. Kemudian pada tahun 1980-an istilah ini berkembang dan menjadi alat pemersatu semua orang yang merasa identitas gendernya tidak cocok dengan identitas yang mereka dapat sejak kecil.[1]

Masalah Genderisme menjadi makin komplek, rumit sehingga membingungkan akibat pada realitas pada kehidupan pada jenis kelamin ternyata bukan Cuma lelaki dan perempuan saja namun hadir pula apa yang disebut sebagai transgender. Transgender adalah istilahyang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. Transgender tidak membakukan bentuk spesifik apapun dari orientasi seksual orangnya. Mereka yang disebut transgender dapat saja mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, bisekual atau transeksual.[2] Dalam wikipedia, pengertian transgender adalah orang yang memiliki identitas gender atau ekpresi gender yang berbeda dengan seksnya yang ditunjuk sejak lahir. Misalnya orang yang secara biologis perempuan merasa lebih aman berpenampilan dengan berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki atau sebaliknya. Kadang transgender juga disebut dengan transeksual jika ia menghendaki bantuan medis untuk transisi dari seks ke seks yang lain, dengan kata lain ia melakuka operasi.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa transgender diberikan kepada seseorang yang telah ditetapkan identitas sekssualnya berdasarkan genetalia mereka sejak lahir. Namun dalam mengekpresikan dirinya mereka merasakan adanya kesalahan atau merasa ada yang tidak sempurna dalam diri mereka sendiri. Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang yang  menjadi transgender di antaranya;

    1.         Pendekatan Biologis
   Dikatakan bahwa proses yang bersifat bio-fisik sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi manusia dimana penerapannya lebihe menonjolkan pada sifat medis, maka dalam hal ini transgender dianggap sebagai penyakit dari sistem saraf pusat yang disebabkan oleh ketidakmampuan otak. Sehingga pada pendekatan biologis dinyatakan bahwa tidak terdapat adanya hubungan antar faktor psikologis, maupun lingkungan yang mempengaruhi gangguan mental.
    2.         Pendekatan Psikologis
   Beberapa faktor Psikologis dan psikososial yang mempengaruhi gangguan mental pada kaum transgender diantaranya; pertama, early deprivation. Deprivasi ni merupakan suatu istilah yang menggambarkan adanya reaksi menerima atau pasrah serta mengikuti pada diri seseorang terhadap keadaan-keadaan yang menuntut, senang atau tidak senang. kedua, pengasuhan orang tua yang tidak adekuat yakni tidak tercukupinya rasa aman sehingga tidak terdapat adanya values atau norma-norma sebagai pegangan. Ketiga. adanya struktur keluarga yang patogenik yakni struktur keluarga yang tidak seimbang, terdapat banyak pertentangan atau pertengkaran antara orang tua sehingga anak-anak merasa kurang kasih sayang. Keempat, lahirnya trauma pada masa anak-anak yang disebabkan adanya perlakukuan yang keliru dari orang tua baik dalam bentuk fisik, seksual, pengabaian emosi dan sebagainya.[3]
B.     Pandangan Ulama Islam terhadap Transgender
            sebagian ulama islam mungkin terlupa untuk melihat aspek psikologis yang dialami oleh waria. Pada umumnya mereka menyamakan waria dengan LGBT. Mereka membuat kategori yang sama antara transgender dan homoseksual. Menurut ahli seksualitas, transgender termasuk kedalam identitas gender dan homoseksual orientasi seksual. Transgender bisa saja homoseksual atau hetereseksual, oleh karena pembagian besar ulama islam menganggap transgender juga homoseksual, sehingga mereka menentang prilaku waria.

            Majelis Ulama Indonesia dan sebagian Ulama lainnya masih memandang negatif terhadap transgender. Mereka memandang kotor waria dan bertentangan dengan ajaran agama. Sebagaimana fatwa MUI tentang waria.
1.      Waria adalah laki-laki yang tidak dapat dipandang agama sebagai kelompok jenis kelamin tersendiri, atau jenis kelamin ketiga.
2.      Segala prilaku seks yang menyimpang adalah haram dan harus dikembalikan kepada kodrat semula.[4]
            Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam tidak menjelaskan jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan. Namun dalam hadits ada jenis kelamin lain yang disebut dengan khutsa. Mereka adalah orang laki-laki yang menyerupai perempuan dalam berbicara, gerakan dan penampilan karena kondisi yang melekat diluar pada kemampuannya untuk mengendalikan, oleh karena itu tidak ada dosa, malu atau salah yang melekat padanya. Sedangkan dalam istilah hadits lain adalah mukhannat. Adalah orang yang menyembunyikan maskulinitas dan banyak prilaku feminisnya yang dianggap dibuat sendiri. Mukhannat juga di definisiakn sebagai “laki-laki yang menyerupai perempuan”.[5]

            Menurut Al-Jurjani, Khuntsa didefinisikan sebagai “ orang yang memiliki dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan atau tidak memilikinya sama sekali”. Selanjutnya menurut Al-Dimasyqi,  sebagaimana dikutip Hamim Ilyas, dalam fiqh, khuntsa dibagi menjadi dua, yaitu khuntsa musyqil dan khuntsa ghairu musykil. Ghairu musykil yaitu mudah untuk dibedakan sedangkan musykil yaitu sulit untuk ditentukan. Menurut tulisan Muiz, khuntsa musykil adalah seseorang yang mempunyai identifikasi kecenderungan jenis kelaki-lakiannya atau keperempuannya atau yang tidak sulit ditentukan jenis kelaminnya. Waria hanya mempunyai satu jenis kelamin, yaitu penis sehingga waria tidak bisa dikatagorikan sebagai Khuntsa. Waria lebih tepat dipahami sebagai seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan. Berdasarkan definisi tersebut, Khuntsa dekat dengan pengertian hermaprodit atau berkelamin ganda. Sedangkan mukhannat mendekati pengertian Transgender.

            Ibnu Hajar, membagi mukhannat menjadi dua, yaitu min ashlil khilqah (tercipta sejak dalam janin) dan bis qasdhi (lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya dan berprilaku seperti perempuan). Menurut Ibnu Hajar, katagori pertama tak terlaknat tapi tetap harus diupayakan agar yang bersangkutan bisa mengubah diri menjadi laki-laki sejati. Membiarkan dan merelakan diri dengan kondisi seperti itu tanpa ada usaha, ia akan tetap mendapatkan celaan sosial dan teologis.[6]dalam penjelasan Ibnu Hajar yang merekomendasikan transgender untuk merubah  menjadi laki-laki sejati, dalam hal ini mungkin belum mempelajari lebih dalam kondisi transgender dari segi psikologis dan medis.

            Pandangan Ibnu Hajar ini diinspirasikan dari QS Al-Hajj ayat 5. Penciptaan manusia itu ada yang sempurna (mukhallaqah).  Dan ada yang tidak sempurna (Ghairu mukhallaqah). Mayoritas Mufasir memahami ghairu mukhallaqah ini adalah sebagai ketidak sempurnaan dalam bentuk jasmaniah, baik berupa keguguran maupun cacat. Al-Qur’an dalam surat An-Nur ayat 31, juga menyebutkan laki-laki yang tidak berhasrat secara seksual dan tidak menginginkan untuk hidup bersama perempuan. Sehingga ada ulama yang menafsirkan waria adalah seorang laki-laki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa yang tidak memiliki hasrat sedikitpun kepada wanita.

            Transgender di Indonesia memiliki akses terbatas untuk berada dalam kehidupan sosial dan agama. Hal ini karena biologi transgender tidak sesuai dengan psikologi mereka. Oleh karena itu mereka menghadapi berbagai masalah, seperti kesulitan untuk mendapatkan atau mengunakan kartu identitas, tidak bebas untuk mengakses fasilitas umum, dan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan profesional. Selain itu, masalah lain bagi transgender yang akan mengapresiasikan keyakinan beragamanya menghadapi berbagai macam problem.

            Situasi ini membuat waria di Indonesia rentan terhadap diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan. Ada hukum dan deklarasihak asasi manusia yang melindungi setiap individu yang hidup dalam masyarakat Indonesia. aturan-aturan tentang kebebasan beragamapun sudah dituangkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan dari Pemerintah. Selain itu, aturan-aturan internasional pun juga memberikan kebebasan beribadah dan menjalankan keyakinan bagi setiap individu, termasuk juga didalamnya adalah kelompok transgender.[7]

C.  Perkawinan Transgender di Indonesia
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa Perkawinan di Indonesia di atur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Ikarar lahir batin yang artinya ikrar bahwa para pihak karena perkawinan, secara formil merupakan suami istri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Ikatan batin dalam perkawinan berarti bahwa dalam batin sumai istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri.[8]

 Perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jelas mengakatan bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila menurut hukum agama yang bersangkutan dinyatakan.
Selain di dalam Undang-Undang No. 1 Taun 1974 tentang perkawinan, dasar hukum perkawinan juga di dapat dalam pasal 2 sampai dengan pasal 10 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

      “Perkawinan menurut hukum islam adalah Pernikahan, yaitu akad yaang sangat kuat atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah”.

Pasal 3 kompilasi hukum islam menyebutkan tujuan dari perkawinan, yang berbunyi “perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah.” Dan dalam pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974”.

Perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. Yang berarti dalam islam adalah yang memenuhi segala syarat dan rukun dari pernikahan tersebut. Kemudian tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri adalah membentuk suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka perkawinan yang tidak dilarang di Indonesia adalah perkawinan berbeda jenis. Perkawinan sesama jenis di Indonesia dilarang baik secara adat maupun Undang-undang. Namun, dalam perkembangannya terdapat beberapa kasus yang berbeda. Yaitu kasus transgender, yang mana dalam prosesnya berbeda dengan perkawinan sesama jenis.

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa transgender adalah mereka yang melakukan pergantian kelamin. Baik dari laki-laki menjadi perempuan maupun dari perempuan menjadi laki-laki. Dalam perjalanannya, biasanya mereka malakukan operasi kelamin kemudian meminta persetujuan pengadilan untuk perubahan status kependudukannya.

Dalam perspektif hukum, aturan mengenai prosedur pergantian jenis kelamin atau transgender di Indonesia belum ada aturan yang mengenai hal tersebut. Namun demikian, dengan adanya Undang-Undang No 24 tahun 2913 Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi kependudukan (UU Apen) dalam pasal 1 angka 7 UU Apen menyatakan bahwa, “yang dimaksud peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan”. Dari pemaparan pasal diatas , memang pergantian kelamin tidak termasuk dalam kategori peristiwaa pendting sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 17 UU Apen.

Namun demikian, pergantian jenis kelamin dikenal dalam pasal 56 ayat (1) UU Apen sebagai “peristiwa penting lainnya”. dalam penjelasan pasal 56 ayat (1) UU Apen dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan peristiwa penting lainnya adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada instansi pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin”.

Jadi, jika benar seseorang telah merubah jenis kelaminnya  agar dapat mendapatkan pengesahan dari negara, perlu di dahului oleh penetapan dari pengadilan terlebih dahulu. Karena tidak seorangpun dapat merubah, mengganti, atau menambah identitasnya tanpa se izin pengadilan. Dengan adanya perubahan jenis kelamin tentunya ada perubahan mengenai data kependudukan. Oleh sebab itu maka sangat wajar apabila seorang yang telah melakukan transgender mengajukan permohonan kepada pengadilan mengenai perubahan atas data identitas kependudukannya.

Setelah mendapati pengesahan dari pengadilan, berdasarkan pasal 3 UU Apen  yang menyatakan bahwa “setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil”. Jadi, seseorang yang telah melakukan transgender diwajibkan untuk melaporkan perubahan atas data identitas kependudukannya pada instansti pelaksana, dalam hal ini yang dimaksud dengan instansi pelaksana adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan.[9]

D.      Perkawinan Transgender Menurut Hukum Islam.
            Sebagiabn besar ulama menyatakan bahwa operasi demikian diharamkan karena bermaksud mengubah ciptaan alah. Dalil-dalil alquran uang dapat dikemukakan terkait hal ini antara lain adalah surat annajm (53) ayat 45 dan hujuran (49) ayat 13 yang menyatakan dengan tegas bahwa jenis kelamin manusia hanyalah terdiri dari dua jenis kelamin, yakni perempyuan dan laki-laki, sehingga tidak ada jenis kelamin ketiga. Sedangkan surat an-nisa ayat 119 menyatakan larangan untuk mengubah ciptaan allah yang telah sempurna sebagaimana dinyatakan oleh surat at-tiin ayat . MUI melalui fatwa yang ditetapkan dewan pimpinan dalam musyaarah Nasonal II ahun 1980 yang kemudian disempurnakan dengan fatwa MUI NO 03/ MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang peruahan dan penyembpurnaan alat kelamin telah menyatakan bahwa operasi penggantian kelamin merupakan suatu hal yang haram hukumnya.

            Berdasarkan hal yang telah dipaparlkan, maka dapat disimpulkan bahwa suatu operasi penggantian kelamin dapat saja dilakukakn apabola memang terdapat suatu kelainan secara biologis dalam tubuh sseorang transeksual tersebut, apabola memang terdapat kelainan biologis dalam tubuh seorang transeksual, maka hal tersebut bukanlah suatu kondisi yang dikehendai sndiri oleg seorang transeseksual, melainkan ia telah terlahir dengan kondisi tersebut, maka tidak ada alahnya apabla kemudian dilakukan suatu perbaikan terhadap kondisi dirinya. oabila dihadapkan pada kondosi semacam ini, maka operasi penggantian kelamin dapat dilakukan sebagai suatu pengobatan, sama halnya dengan kebolehan operasi perubahan kelamin pada seorang yang mengalami kondisi intersek.

            Pada kondisi interseks dimana seorang memiliki lebih dari satu alat kelamin, operasi penyesuaian kelamin diperbolehkan oleh para ulama. Interseks atau dikenal dengan Hermaphrodite, atau dikenal dalam islam sebagai Khunsta, merupakan orang yang mmiliki dua alat kelamin laki-laki dan perempuan atau tidak punya alat kelamin sama sekali, Hukum bagi seorang khunsta melakukan operasi penyempurnaan kelamin adalah boleh, sesuai dengan fatwa MUI Nomor 3/MUNAS-VII/MUI/2010 tenang perubahan dan penyempurnaan alat kelamin. Pada kondisi interseks orang tersebut memang terlahir dengan kondisi tersebut, dan permasalahannya tidaka hanya pada kondisi psikologis.

            Selain itu, Keharaman juga diungkapkan oleh Yusuf Qardhawi, melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Dalam fatwanya Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa manusia diciptakan dari lak-laki dan wanita dengan susunan tubuh tertentu untuk melakukan tugasnya masing-masing dalam kehidupan ini. Sehingga, kita tidak boleh mengubahnya dengn keinginan kita tanpa alasan yang jelas. Masing-masing telah memiliki sifat yang berbeda-beda yang merupakan ciri khas yang tidak di miliki oleh orang lain, karena mengubah sifat atau qodrat dilarang oleh agama karena bertentangan dengan fitrah serta lari dari syariat dan tanggung jawab.[10]

            Selain itu beliau juga mengatakan jika terdapat beberapa pengaruh negatif yang akan terjadi apabila terdapat kebolehan dalam tindakan operasi penggantian kelmin. pengaruh yang pertama adalah dengan melakukan tindakan operasi penggantian kelamin, berarti bahwa tindakan pencegahan dalam perkembangbiakan manusia juga dilakukan. Sehingga, jika hal ini diperbolehkan , maka perkembangbiakan dan keturunan manusia akan terputus dan menyebabkan jumlah manusia semakin menurun tiap harinya. Pengaruh selanjutnya adalah adanya perubahan pada hukum syariah. Beliau memberi contoh seorang wanita mengubah dirinya menjadi laki-laki, dan dengan memperoleh perubahan tersebut, berarti kita memperbolehkan wanita kawin dengan wanita, padahal diketahui bahwa perkawinan sesama jenis merupakan suatu dosa besar.[11]

            Berdasarkan hal yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulakan baha suatu operasi penggantian kelamin dapat saja dilakukan apabila memang terdapat suatu kelainan secara biologis dalam tubuh seorang transseksual tersebut, apabila memang terdapat kelainan biologis dalam tubuh seorang transseksual, maka hal tersebut bukanlah suatu kondisi yang diikehendaki sendiri oleh seorang transseksual, melainkan ia telah terlahir dengan kondisi tersebut. Dikarenakan ia telah terlahir ddengan kondisitersebut, maka tidak ada salahnya apabila kemudian dilakukan suatu perbaikan terhadap kondisi dirinya. Apabila dihadapkan pada kondisi semacam ini, maka operasi penggantian kelamin dapat dilakukan sebagai suatu pengobatan, sama halnya dengan kebolehan dilakukan nya operasi persubahan kelamin pada seorang yang mengalami kondisi intersex.

            Denga tidak sahnya perubahan setatus hukum tersebut secara hukum islam, maka orang yang bersangkutan masih memilii setatus hukum sebagaimana yang ia miliki sebelum ia melakukan operasi penggantian kelamin, sekalipun Pengadilan Negeri telah menetapkan sahnya perubahan setatus kelamin. Oleh karena itu, apabila ia ingin melakukan perkawina, ia hanya dapat melakukan perkawinan dengan seseorang yang memiliki status hukum yang berlawan dengan status hukum yang ia memiliki berdasarkan hukum islam. Misalanya, seorang laki-laki melakukan operasi penggantian kelamin tanpa memiliki kelainan apapun pda setrustur biologis tubuhnya, maka setelah dilakukan operasi penggantian kelamin, iaakan tetapa berstatus sebagai lakilaki, tidak terjadi perubahan status hukumntya secara islam. oleh karena itu, dilakukannya karena perkawinan tersebut akan menjadi perkawinan sesama jenis, suatu jenis perkawinan yang diharamkan di dalam islama. Hubungan sesama jenis meruakan salah satu dosa besar.

            Pada kesimpulannya, boleh tidaknya dilakukannya suatu perkawinan antara seorang transeksual yang telah menjalani operasi penggantian kelamin, pada akhirnya akan kembali ditinjau dari keabsahannya melakukan operasi penggantian kelamin. Apabila seorang tersebut memang memiliki suatu kelainan yang sifatnya biologis dalam tubuhnya, maka operasi penggantian kelamin dapat saja dilakukakn, sehingga perubaha status humuknya menjadi sah, dan ia dapat melakukan perkawinan dengan seorang yang memiliki jenis kelamin yang berbeda dengan jenis kelamin yang dimiliki setelah melakukan operasi. Namun sebaliknya, apabila tidak terdapat suatu kondisi biologis apapun yang menyebabkan dilakukannya operas penggantian kelamin, apabila operasi penggantian kelamin dilakukan berdasarkan perasaan psikologis seorang, maka operasi penggantian kelamin tersebut tidak dapat dibenarkan oleh hukum islam, sehingga setelah operasi dilakukan, dan meskipun telah mendapakan putusan penetapan dari Pengadilan Negeri atas perubahan status kelaminnya, settus orang bersangkutan menurut hukum islam adalah tetap mengikuti setatus hukum yang ia miliki sebelum ia melakukan operasi penggantian kelamin. Oleh karena itu, apabila orang tersebut ingin melakukan perkawinan denga seorang yang memiliki jenis kelamin berlawanan dengan jenis kelamin fisik yang ia miliki setelah dilakukan operasi, hal tersebut tidak dapat dilakukan.

BAB III
Penutup

Pernikahan merupakan ikatan suci lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita. Perkawinan tersebut tentu dilaksanakan dengan penuh cinta dan kasih sayang, serta dilakukan menurut ke yakinan dan kepercayaan agamanya masing-masing dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Tujuan dari pernikahan sendiri adalah ntuk memperoleh keturuan yang baik dan menjadi penerus yang berkualitas, serta tujuan perkawinan dalam islam yaitu untuk menyempurnakan agama dan memperoleh kebahagiaan bersama dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Prombelamatika dalam huukum keluarga seringlah terjadi, salah satunya yaitu tentang pernikahan transgender. Fenomena ini semakin berkembang dan selalu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.  Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan trangender ini. apalagi dalam Kompilasi Hukum Islam, namun hal ini terjadi dalam beberapa kasus di Indonesia. hal ini tentu berdampak terhadap status kewarganegaraannya dan status hukum dari perkawinan yang mereka lakukan. Lebih lanjutnya banyak mengenai perkawinan transgender berdampak kepada hukum-hukum dan masalah sosial yang lain.

Dalam hal ini jelas islam melarang perkawinan transgender. Sebelum pelaksanaan perkawinan tersebut, islam telah melarang operasi kelamin sebagaimana Fatwa MUI, hasil Batslu Masail NU, juga Majelis Tarjih Muhammadiyah yang melarang tentang perubahan jenis kelamin. Karena hal tersebut talh melanggar kodrat yang telah di tetapkan oleh Allah SWT.






DAFTAR PUSTAKA

Azizi, Safrudin, 2017, Pendidikan Seks Perspektif Terapi Sufistik Bagi LGBT, Kendal: Ernest
Suparma, Jaya, 2014,  klirumologi Genderisme, Jakarta Pt Alex Media Kumputindo
Komisi fatwa MUI dalam sidangnya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1418 H, bertepatan dengan tanggal 11 oktober 1997 tentang masalah waria.
Faidah dan Abdullah. Religiusitas dan Konsep Diri Kaum Waria. JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013.
Tulisan Abdul Muis Ghazali dengan judul “Agama dan sikap terhadap waria”, yang dimuat dalam suarakita.org pada tanggal 12 Desember 2012.
Rr. Siti Kurnia Widiastuti, Farsijana Adeney Risakotta, dan Siti Syamsiatun. Problem-problem Minoritas Transgender dalam Kehidupan Sosial Beragama. Vol. 10, No. 02, Juli-Desember 2016.
Sudarsono, 2005,  Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta,  PT. Rineka Cipta.
Ahmad Zahid Azmi dalam Kolom Kompas.com tentang Pengesahan dan Prosedur Hukum Terhadap Transgender di Indonesia, yang di publis tanggal 31 Desember 2017.
Qardhawi, Yusuf, 2002,  Fatwa-fatwa kontemporer, jilid 3, Jakarta, Gema Insani Press.







                [1]Safrudin Azizi. Pendidikan Seks Perspektif Terapi Sufistik Bagi LGBT, (Kendal: Ernest, 2017),54
                [2] Jaya Suprama, Kelirumologi Genderisme, (Jakarta: PT elex Media Kumputindo, 2014), 32
[3] Safrudin Azizi. Pendidikan Seks Perspektif Terapi Sufistik Bagi LGBT,54- 55
[4]Komidi fatwa MUI dalam sidangnya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1418 H, bertepatan dengan tanggal 11 oktober 1997 tentang masalah waria.
[5]Faidah dan Abdullah. Religiusitas dan Konsep Diri Kaum Waria. JSGI, Vol. 04, No. 01, Agustus 2013, hal. 2.
[6]Tulisan Abdul Muis Ghazali dengan judul “Agama dan sikap terhadap waria”, yang dimuat dalam suarakita.org pada tanggal 12 Desember 2012.
[7] Rr. Siti Kurnia Widiastuti, Farsijana Adeney Risakotta, dan Siti Syamsiatun. Problem-problem Minoritas Transgender dalam Kehidupan Sosial Beragama. Vol. 10, No. 02, Juli-Desember 2016, hal. 106-107.
[8] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta,  2005, hlm. 7
[9] Ahmad Zahid Azmi dalam Kolom Kompas.com tentang Pengesahan dan Prosedur Hukum Terhadap Transgender di Indonesia, yang di publis tanggal 31 Desember 2017.
                [10]yusuf ardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer, jilid 3(Jakarta: Gema insani Press, 2002), 466-467
                [11] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer, jilid 3. 466 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )