KABAR DARI AMPLOP KOSONG


KABAR DARI AMPLOP KOSONG

Ambu tecinta,

Maaf aku membuatmu menunggu lama, aku menyempatkan menulis surat ini disela pekerjaanku di kantor, padahal setiap harinya aku disibukan dengan kerjaan yang tak jelas. Aku memakan gaji buta Ambu. tapi tak apa, nanti kita akan makan gaji buta itu bersama.

Bersama surat ini kukirim beberapa lembar rupiah untuk kamu simpan di berangkas tabungan. memang tak seberapa Ambu, tapi cukup lah kira-kira untuk beli kuota internet selama satu bulan, agar kamu bisa buka Instagram, Twitter, Whatsapp dan Facebook yang di dewakan orang. Meski begitu,  aku berharap kebahagian kita nanti tak di curi oleh rupiah, mereka biasanya pandai untuk mengelabui hati dengan berbagai rayuan kemewahan duniawi.


Ambu kekasihku,

Aku tak ingin bercerita tentang rupiah. Tidak penting Ambu, rupiah itu hanya nomor sekian, begitu juga dengan cinta.  Aku juga tidak menulis surat cinta untukmu Ambu, cinta hanya nomor ke sekian dari banyaknya angka-angka pada keybort komputer ku. Meski begitu, aku juga tidak hanya ingin mengirim kata-kata untukmu. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Ambu, sudah banyak orang yang berkata-kata, tapi apakah masih ada yang mau mendengarnya ?

Apa gunanya kata-kata? Sudah banyak kata yang tak terhitung jumlahnya dalam sejarah manusia Ambu. Terlalu banyak, aku tak mau menambah kerumitan itu dan membuat kata-kata baru, menyusun kalimat menjadi sebuah paragraf yang tak berguna untuk kau baca, aku tak mau kau hanya mengerti induk kalimat tapi kehilangan anak kalimat.

Ambu yang manis, Ambu yang sendu, akan kuceritakan bagaimana aku mencari pekerjaan di kota.
Pagi itu aku duduk di teras rumah sambil menunggu tukang koran lewat. Aroma kopiku bercampur dengan debu polusi, tak karuan rasa dan baunya namun tetap aku nikmati, karna aku tak punya apa-apa lagi. Aku memandang dunia yang terdiri dari waktu, memandang semesta dengan ruang dan waktu bersekutu. Di tepi rumah, di mataku, semesta bersatu dengan suara bising knalpot dan hiruk piuk manusia. Langit  berwarna biru ke kuning-kuningan menyatu dengan gemerlap baju manusia, berhampuran menuju tempat pekerjaan. Sedang aku masih pengangguran Ambu, waktu itu.

“koran, koran, koran”.

Kulihat tukang korang berjalan ke arahku, dia melemparkan koran.
Halaman pertama di koran terpampang jelas berita tentang para pejabat yang korupsi uang rakyat, aku cukup kaget Ambu. “budak perut” pikirku, tapi aku tak tertarik dengan berita itu, apalagi sumpah serapah manusia kepada manusia lain. Aku hanya mencari pekerjaan.

Ambu yang manis, setiap aku membuka lembar demi lembar koran, mencari iklan lowongan pekerjaan. Tapi kau tau apa yang aku temukan ? mereka hanya membutuhkan insinyur pertambangan, direktur eksekutif, sarjana kesehatan dan pekerjaan yang tidak aku butuhkan. Setiap koran yang selesai ku baca, kulipat kecil-kecil lalu ku buang. Terkadang aku robek, aku gunting, aku jadikan perahu kertas, aku jadikan kapal kertas!

“jangan terus disobek nak, saya tidak punya HP, hanya koran sumber informasi saya”. Seorang kakek dengan baju tercompang camping, kaki dengan bumi menyatu tanpa alas, aroma tubuhnya begitu menyengat, hingga lalat tak mau jauh darinya.

Kau tahu Ambu ?. 10 tahun sudah dia mencari kekasihnya di kota, di pisahkan oleh jarak dan waktu.di dalam tubuhnya ada ruang kosong yang tak mungkin dapat terisi kembali.lalu ku kumpulkan lagi sobekan koran yang tercecer dan terhembus angin, ku susun kembali kata demi kata, kalimat demi kalimat, agar menjadi paragraf yang utuh dan tak kehilangan maknanya.

Aku malu, merasa tak tahu diri.  aku tak mau membandingkan kekurangan ku dengan kelebihan orang lian, aku takut menjadi rendah diri. aku juga tak mau membandingkan kekurangan orang lain dengan kelebihanku, aku takut tinggi hati. Ternyata bersyukur adalah senjata yang palin mujarab.
Meski begitu, aku tetap kehilangan akal sehat.

Ambu yang sendu, aku sering bertanya-tanya. Apakah seperti ini kehidupan manusia? Setiap saat selalu mengalami kebingungan yang berbeda. Saat aku kuliah, aku kebingungan dengan skripsiku, saat skripsi selesai, aku bingung kenapa tak kunjung wisuda. Sekarang, ketika  lulus dan mendapat gelar sarjana, akupun bingung selanjutnya aku mau apa. Profesi tak ada, karirpun tak punya, aku hanya orang bukan seseorang.

aku melejit ke jalan raya,  kukebut motorku dengan perasaan panik. Aku sudah muak dengan segala isi kepalaku yang terus bertanya. Apakah memang seperti ini nasib seorang sarjana? Apakah pekerjaan memang harus di kota ? apakah pekerjaan hanya untuk mereka yang punya orang dalam ?. aku sendiri tak tahu aku harus menjadi apa. Kebingunganku sepertinya tak pernah selesai, dan ya, begitulah Ambu. Aku berharap nasib baik segera datang.

Ambu sayang, sampailah aku di ujung senja. Langit berwarna kemerah-merahan itu nyata dan lembut, aku teringat padamu. Ingin rasanya aku potong secuil saja senja itu untuk ku berikan kepadamu sebelum dicuri cakrawala,  ku masukan kedalam ampop bersama surat  dan beberapa keping rupiah ini. Tapi aku tak bisa membayangkan kegaduhan orang-orang jika senja yang selalu mereka buru setiap hari menghilang karna ku curi. Meski aku penganggguran Ambu, tapi aku bukan seorang pencuri.

 “Orang berbondong-bondong pergi ke Ibu kota untuk mencari pekerjaan, sedangkan disini pun banyak yang mengganggur” batinku, apakah memang semua kesuksesan itu harus diraih disini?.
Hari berikutnya, aku melihat berita lowongan kerja di koran yang sama. Kucoba keberntungan menjadi seorang jurnalis, padahal aku tidak bisa menulis. Tak salah untuk ku coba, pikirku. Aku berdoa nasib baik segera datang, aku sudah bosan setiap pagi harus menunggu koran, mendengarkan ocehan di jalanan, sumpah serampah orang-orang karena saling terburu-buru pergi kekantornya, meminum kopi yang bercambur dengan abu dan asap knalpot, memandang semesta dengan mata penuh kehampaan.

Ambu yang manis, tuhan masih mendengarkan doaku, sekalipun doa itu tak tulus ku ucapkan. Mungkin jika Tuhan ku beri uang palsu, dengan kasih sayangnya dia akan tetap menerima.

Ambu terkasih, masihkah kau menunggu?.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )