PEMELIHARAAN ANAK DALAM ISLAM






A    Latar Belakang Masalah
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya maupun dalam pembentukan akhlaknya. Untuk mencapai hak tersebut diperlukan peran dan tanggung jawab kedua orang tua karena pada dasarnya mereka yang sanagat menetukan tumbuh dan kembangnya seorang anak.
Adapun begitu pentingnya hadhanah bagi seorang anak diperlukan rasa peduli dan tanggung jawab dari kedua orang tua. Jalinan kerja sama antara keduanya hanya akan bisa terwujud selama kedua orang tua itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana demikian walaupun tugas hadhanah akan lebih banyak dari ibu, namun peran ayah tidak dapat di abaikan, baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan selama hadhanah, maupun dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak tersubut bisa tumbuh dengan baik.
Harapan diatas tidak terwujud, apabila terjadi perceraian orang tuanya. Perceraian bisa menjadi malapetakan dan bahkan membawa kepada penelantaran si anak. Disaat itu seorang anak tidak mendapatkan lagi ni’mat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Padahal, kasih sayang adalah merupakan unsur yang paling penting dalam pertumbuhan seorang anak
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. bagaimana islam memandang Hadhanah ?
2. bagaimana penerapan Qaid dalam hadhanah ?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan, gambaran secara umum penelitian ini bertujuan :
1. Untuk menjelaskan Hadhanah dalam Islam
2. Untuk menjelaskan Penerapan Kaidah Fiqih dalam Hadhanah
D. Manfaat Penulisan
            Penulisan ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang ini. Agar hasil penulisan ini betul-betul jelas dan berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

A.    Anak dalam perspektif Islam
asalnya adalah memeluk, mendekap atau mengerami telor untuk burung atau unggas. Ketika kata itu digunakan untuk orang maka berarti mengasuh atau memelihara dengan segala aspeknya. Sedang secara terinologis para fukoha mendefinisikan istilah hadhanah sebagai merawat dan mendidika anak yang belum mumayyiz (belum dewasa) atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak mendapat memenuhi keperluannya sendiri. Merawat artinya memelihara dan mmenjaga kepentingan anak serta melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya. Mendidik artinya membekali anak dengan pengetahuan rohani dan jasmasni serta akalnya, supaya si anak dapat berkembang hidup yang akan dihadapinya[1]
Pada dasarnya islam hanay mengajarkan bahwa hubungan seorang laki-laki dengan perempuan yang dapat berakibat lahirnya seorang anak dianggap sah apabila hubungan tersebut terjadi dalam pernikahan. Tetapi karena fakta historis menunjukan adanya hubungan yang sah maupun tidak sah (di luar nikah), maka islam mengenal tipologi anak dalam tida kategori, yakni anak sah, anak zina, anak li’an. Masing-masing dari ketiga jenis status anak diatas pada gilirannya berpengaruh dalam masalah hak mengasuh. Untuk anak zina sebagai anak yang lahir dan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja tidak dengan ayahnya, oleh karenanya hak mengasuh kembali kepada si ibu. Sedang anak li’an meskipun ia lahir dalam suatu hubungan perkawinan, tetapi karena alasan hukum, sang suami mengingkari kesahan anak yang lahir tersebut sebagai anaknya. alasan hukum yang dimaksud adalah jika si istri setelah pernikahan melahirkan anak dengan masa kehamilan dibawah batas minimal masa kehamilan setelah perceraian. Anak li’an semacam ini jika jelas terbukti tuduhan si suami maka meskipun si anak lahir dalam perkawinan yang sah, ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.
Sedangkan status anak yang menjadi wacana dalam ketentuan hukum hadhanah adalah anak yang memiliki status sah. Dalam pandangan fiqh anak sah adalah anak yang masa konsepsinya dalam rahim seorang ibu. Dengan demikian anak yang dapat dianggap sebagai anak yang sah adalah anak yang lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau dalam tenggang waktu iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.[2]
Hadhanah dari sudut syara ialah pengasuhan anak yang tidak atau belum mampu mandiri dengan baik agar segala yang terbaik bagi keperluannya tidak terganggu. Tanggung jawab dalam asuhan yang baik kepada anak didasarkan pada firman Allah :
$ygn=¬6s)tFsù $ygš/u @Aqç7s)Î/ 9`|¡ym $ygtFt7/Rr&ur $·?$t6tR $YZ|¡ym $ygn=¤ÿx.ur $­ƒÌx.y ( $yJ¯=ä. Ÿ@yzyŠ $ygøŠn=tã $­ƒÌx.y z>#tósÏJø9$# yy`ur $ydyZÏã $]%øÍ ( tA$s% ãLuqöyJ»tƒ 4¯Tr& Å7s9 #x»yd ( ôMs9$s% uqèd ô`ÏB ÏZÏã «!$# ( ¨bÎ) ©!$# ä-ãötƒ `tB âä!$t±o ÎŽötóÎ/ A>$|¡Ïm ÇÌÐÈ
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
Hadhanah yang disepakati oleh Ulama Fiqh menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah wajib bagi kedua orang tuanya. Karena apabila anak yang masih kecil, belum mumayiz yang tidak dirawat dan dididik dengan baik, makan akan berakibat buruk pada diri dan masa depan anak bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut wajib dipelihara, dirawat dan didik dengan baik[3]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(At-Tamrin, ayat 6)

B.     Syarat-Syarat dalam Pemelihan Anak
Tujuan dari pemeliharaan anak yang begitu luhur dan mulia sebagaimana penjelasan pada pembahasan sebelumnya, tentu akan sulit tercapai bila pelaksanaannya dilakukan secara sembarangan oleh pihak yang kurang layak. Oleh karena itu persyaratan tertentu sebagai standar dalam menetukan pemegang hak pemeliharaan anak. Persyaratan yang diajukan Imam Taqiyuddin, bahwa pemeliharaan atau pengasuh harus berakal sehat, merdeka, meiliki kasih sayang, dapat dipercaya, tidak bersuami, beragama islam, dan bertempat tinggal.
Syarat yang dikemukakan imam Taqiyudin diatas tidak jauh berbeda dengan syarat yang di ajukan oleh Sayyid Sabiq, Hanya saja ada pengecualian dalam tempat tinggal, nila imam Taqiyuddin mensyaratkan tempat tinggal sedangkan Sayyid Sabiq Tidak[4]
Imam Al-Kasani Berkata “ Hadhanah adalah hak kedua-dua pihak, ibu dan ayah. Ada waktu untuk ibu dan ada waktunya untuk ayah. Keutamaan yang diberikan kepada ibu karena sifat mendidik anak. Bagi ayah pula ialah dari segi keperluan perkembangan anak secara menyeluruh.[5]
Di dalam isu hadhanah ibu ayah non muslim, ulama dahulu telah berbeda pendapat mengenainya sejak dahulu. Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa Ibu yang menjaga anak perlu beragama islam. Mereka berpendapat dengan firman Allah di dalam surat An-Nisa yang berbunyi :
tûïÏ%©!$# tbqÝÁ­/uŽtItƒ öNä3Î/ bÎ*sù tb%x. öNä3s9 Óx÷Fsù z`ÏiB «!$# (#þqä9$s% óOs9r& `ä3tR öNä3yè¨B bÎ)ur tb%x. tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 Ò=ŠÅÁtR (#þqä9$s% óOs9r& øŒÈqóstGó¡tR öNä3øn=tæ Nä3÷èuZôJtRur z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 ª!$$sù ãNä3øts öNà6oY÷t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ
 ” (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. yaitu dengan jalan membukakan rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang-orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mukmin mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.”

Dan sebuah Hadist yang berkisah tentang seorang anak kecil yang telah diberi pilihan untuk bersama ibu atau ayahnya. Hadist ini telah diriwayatkan oleh imam Ahmad, Al-Nasai dan Abu Daud, dari rafi bin Sinan, “Bahwa dia telah menganut Islam, Namun Istrinya enggan (menganut Islam). Lau dibawa kepada Nabi Saw anak kecil mereka yang belum baligh. Nabi Saw pun berdoa. “Ya Allah berikannya petunjuk” anak itu kemudian memilih ayahnya.[6]
Seorang hadhin (pengasuh anak) yang menangani dan menyelenggarakan anak kecil yang di asuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu syarat tertentu tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kenolehan menyelenggarakan hadhanahnya, ialah :
1.      Berakal, tidak terganggu ingatannya
Sebab hadhanah merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab oleh sebab itu seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguann ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah[7]
2.      Dewasa
Sebab anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang lain.[8]
3.      Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan menididk makhdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bias mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
4.      Amanah dan berbudi
Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menuaikan kewajiban dengan baik, orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melaksanakan tugas ini.
Namun sayyid sabiq berpendapat bahwa persyaratan seperti ini sangatlah sukar dipenuhi dan memberatkan seorang hadin sehingga banyak anak-anak yang terlantar akibat sedikitnya hadhin yang bisa memenuhi syarat ini, Islam tidak pernah mencabut anak dari asuhan ibu bapaknya atau salah seorang dari mereka ini, karena kedurhakaan (kecurangan) tidak pernah nabi dan para sahabatnyapun melarang seorang durhaka mendidik dan mengasuh anaknya atau mengawinkan orang yang berbeda dalam perwaliannya.
5.      Islam
6.      Belum kawin lagi, jika yang melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang diasuhnya. Dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya punya hak hadhanah bagi anaknya selama belum menikah dengan laki-laki lain (HR. Abu Dawud). Namun ahli-ahli fiqh tidak menggugurkan hak hadhanah pada ibu jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak yang memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.[9]
7.      Merdeka, karena seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urursan-urusan dengan tuannya sehingga ia tidak dapat ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
Mayoritas Ulama sepakat Bahwa syarat-syarat hadhanah seperti berakal, amanah, dewasa, mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang tercela merupakan syarat hadhanah. Sedangkan masalah Agama bagi Imam Syafi’i orang selain Islam tidak Boleh. Sedangkan Madzhab lain bukan merupakan syarat hhanya saja bagi imam hanafi kemurtadan mmenjadikan gugur hak asuhan.
C.    Urutan orang yang melakukan hadhanah
Sebagaimana orang yang berhak mengasuh anak adalah Ibu, maka para fuqoha menyimpulkan, keluarga ibu lebih berhak dari pada keluarga bapak. Urutan mereka yang berhak adalah sebagai berikut[10]
1.      Ibu
2.      Nene dari pihak ibu
3.      Nene dari pihak ayah
4.      Saudara kandung anak perempuan tersebut
5.      Saudara perempuan se ibu
6.      Saudara perempuan se ayah
7.      Anak perempuan ibu yang se kandung
8.      Anak perempuan ibu yang se ayah
9.      Saudara perempuan ibu yang se kandung
10.  Saudara perempuan ibu yang se ibu (bibi)
11.  Saudara perempuan ibu yang se ayah
12.  Anak perempuan dari saudara perempuan se ayah
13.  Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
14.  Anak perempuan dari anak laki-laki se ibu
15.  Saudara perempuan ayah yang se kandung
16.  Saudara perempuan ayah yang se ibu
17.  Saudara perempuan ayah yang se ayah
18.  Bibinya ibu dari pihak ibunya
19.  Bibinya ayah dari pihak ibunya
20.  Bibinya ibu dari pihak ayahnya
21.  Bibinya ayah daari pihak ayahnya, No 19 sampai 21 mengutamakan  yang sekandung pada masing-masingnya.[11]

D.    Kaidah Fiqih tentang Hadhanah
   أَنَّ الأَقْوَى قرَا بة يَحْجُبُ الأَ ضْعَفَ مِنْهُ
Artinya: “Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah”

Hak Asuh anak dalam kasus perceraian, sebagaimana dijelaskan sebelumnya jatuh kepada Ibu, lalu dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum, hadhanah jatuh kepada kerabat ibu yang lebih dekat. Maka secara urutan kekerabatan yang lebih dekat (kuat) lebih berhak sebelum kekerabatan yang jauh (lemah).

الضرر يزال

kemudharatan itu harus dihilangkan”

Dalam kasus hadhanah, tentu sangat penting untuk memberikan hak hadhanah kepada anak. Sebab tumbuh dan berkembangnya seorang anak ada unsur kasih sayang dari orang kedua orang tuanya. Namun dalam kasus perceraian sering kali terjadi penelentaran anak, sehingga anaklah yang menjadi korban. Oleh sebab itu hal-hal yang sifatnya madharat harus dihilangkan untuk masa depan si anak.

الدفع أقوي من الررفع

Menolak itu Lebih Kuat daripada menghilangkan”

Dalam istilah ilmu kedokteran mencegah lebih baik daripada mengobati, atau dalam ilmu akademis dikenal dengan jargon tindakan prefentatif lebih baik daripada tindakan kuarif,
Perbedaan agama antara seorang  laki-laki dan perempuan menjadikan halangan adanya pernikahan. Begitupula dalam mengasih anak. Seperti syarat yang di tetapkan untuk pengasuh anak adalah muslim, artinya seorang pengasuh anak harus lah seorang muslim karena akan berpengaruh terhadap akhlak dan agamanya.[12]

KESIMPULAN


Hadhanah dalam kasus perceraian, maka secara hukum hak asuh anak adalah wajib. Karena membiarkan anak dalam ketelntaran dan kebahayaan adalah tidak baik untuk masa depan si anak. Hak hadhanah ini pada dasarnya jatuh kepada ibu, karena ibu mempunya ciri-ciri kesesuaian dan kasih sayang yang lebih dari seorang bapak dalam porsinya. Namun, ada beberapa syarat yang didetapkan oleh ulama untuk si pengasuh tersbut. Adapun hak mengasuh itu waktunya sampai iya mumayyiz, sehingga saat dia sudah mumayyiz anak berhak untuk memilih dengan siapa.
Ada beberapa kadiah fiqih untuk masalah hadhanah ini, yaitu :
أَنَّ الأَقْوَى قرَا بة يَحْجُبُ الأَ ضْعَفَ مِنْهُ

الضرر يزال

الدفع أقوي من الررفع


Dari kaidah fiqih inilah kita bisa melihat seberapa pentingnya dalam mengasih seorang anak, sehingga anak tersebut tidak menjadi korban dari perceraian ibu dan bapaknya. Sebab setiap anak berhak untuk tumbuh dengan kasih sayang.








DAFTAR PUSTAKA

Rohidin, Pemelihaan Anak Dalam Perspektif Fiqih, (Jurnal Hukum No. 29, VOL 12, mei 2005
Alam, Andi samsu dan Fauzan, M, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet Ke-1
Muhajid. Achmad,  Hadhanah Daam Islam, Jurnal SAP Vol. 2 No. 02 Desember 2017,
Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani, Badai Al-sanai Fi Tartib Al-Sharai, (Beirut: Dal Al-Kutub Al-‘Ilmiyah 1986
Al-Nawawi, Raudat Al-Talibin, (Beirut:  Dar Ib Hazm, 2002),
Rifa. Moh.  et. Al, Terjemah Khalashah Kifayatul Kahyar, Semarang, CV Toha Putra
Zuhaili, Wahbah,  Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 7, Bairut-Darul Fikri
Efendi, Satria,  Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, Jakarta, Pernada Media, 2004
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983
Kamil Muhammad Uwaidah (terjemah) Abdul Ghofur, Fiqh Wanita, Jakarta, Al-Kautsar, 2006
Khusnan Masnyur, H.M. Yahya , Ulasan Nadhom Qowaid Fidhiyyah Al-Faroid Al-Bahiyyah, (Jombang, Pustaka Al-Muhibbin, 2017


[1] Rohidin, Pemelihaan Anak Dalam Perspektif Fiqih, (Jurnal Hukum No. 29, VOL 12, mei 2005. 90-91)
[2] Rohidin, Pemelihaan Anak Dalam Perspektif Fiqih, (Jurnal Hukum No. 29, VOL 12, mei 2005. 90-91)

[3] Andi samsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet Ke-1, h 115.
[4] Achmad Muhajid, Hadhanah Daam Islam, Jurnal SAP Vol. 2 No. 02 Desember 2017, 167
[5] Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani, Badai Al-sanai Fi Tartib Al-Sharai, (Beirut: Dal Al-Kutub Al-‘Ilmiyah 1986)Hal. 42
[6] Al-Nawawi, Raudat Al-Talibin, (Beirut:  Dar Ib Hazm, 2002), Hal. 1578
[7] Moh. Rifai, et. Al, Terjemah Khalashah Kifayatul Kahyar, (Semarang, CV Toha Putra). H. 352.
[8] Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 7, Bairut: Darul Fikri, t.th. h. 726.
[9] Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, (Jakarta, Pernada Media, 2004, cet. 1), h.172
[10] Sayyid Sabia, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983)h. 529
[11] Kamil Muhammad Uwaidah (terjemah) Abdul Ghofur, Fiqh Wanita, Jakarta, Al-Kautsar, 2006, h. 456.
[12] H.M. Yahya Khusnan Masnyur, Ulasan Nadhom Qowaid Fidhiyyah Al-Faroid Al-Bahiyyah, (Jombang, Pustaka Al-Muhibbin, 2017), h. 156

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )