WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI











KONSEP MAHRAM DALAM AL-QUR’AN & HADIST

A.    Pengertian Mahram

Pada masyarakat awam, sering terjadi kesalah fahaman kata dan bahasa dalam istilah mahram.  yang kemudian menjadi kebiasaan. Padahal perkara itu kurang tepat dan menyalahi arti. Mereka banyak yang menyebutnya dengan Istilah Muhrim. Dalam terminologi bahasa Arab, kata mahram adalah orang-orang yang merupakan lawan jenis, namun haram (tidak boleh) dinikahi. Sedangkan istilah Muhrim dalam terminilogi Bahasa Arab adalah orang-orang yang berihram dalam ibadah haji setelah tahallul. Secara terminologi, mahram adalah orang yang haram dinikahi, baik mahram yang berifat selamanya (Mu’abbad) maupun sementara (mu’aqqat).[1]

Mahram yang bersifat selamanya (Mu’abbad)menyebabkan seorang laki-laki diharamkan untuk menikahi seorang perempuan selamanya, kapanpun. Sedangkan mahram muaqqat hanya mengharamkan seorang laki-laki menikahi perempuan selama waktu tertentu dan keadaan tertentu. Jika status hubungan mahraam mereka berubah bukan menjadi mahram lagi, maka pernikahan mereka halal untuk dilaksanakan.[2]

 Sedangkan istilah muhrim, berarti seseorang yang sedang melakukan ihram haji atau umrah dengan memakai pakaian ihram. Ketika itu, ia tidak diperbolehkan melakukan hal yang menjadi larangan bagi orang yang sedang ihram. Seperti memakai wangi-wangian, memakai pakaian yang berjahit, berburu, merusak tanaman dan hal lainnya yang menjadi larangan bagi orang yang sedang ihram, sampai ia selesai Tahallul.







Sebelum lebih jauh berbicara tentang masalah Mahram, mari kita lihat pengertian-pengertian mahram. Secara bahasa, mahram diambil dari kata Humrah. Yang artinya adalah sesuatu yang tidak halal dilanggar. Jika disebut Huram-mu, maknanya adalah wanita-wanitamu dan apa yang engkau lindungi. Mereka disebut maharim, dan bentuk tunggalnya adalah Mahrumah. (al-Qumusul Muhith, fashl al-Ha’u, bab Al-Mim  dan Al-Mu’jamul Wasith,1/169).[3]

Menurut Syariat, kata Al-Kasani dalam bada’iush Shana’i (2/124), “Mahram seorang wanita adalah lelaki yang tidak boleh menikahi siwanita selama-lamanya. Bisa jadi karena hubungan nasab antar keduanya, atau hubungan persusuan, atau hubungan yang terjadi karena pernikahan. Ibnu Qudamah mengatakan, “mahram adalah suami seorang wanita atau lelaki yang haram menikahi si wanita selama-lamanyan karena ada hubungan darah/nasab atau dengan sebab mubah.

Contoh mahram seorang wanita adalah ayahnya, anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, keponakan laki-laki dari saudara perempuan atau laki-lakinya,  kakek, paman dari pihak ayah, atau pihak ibu, ayah mertua, menantu (suami dari putrinya)” (al-Mughni) ucapan ibn-Qudamah ‘dengan sebab mubah’ mengeluarkan ibu dari wanita yang dizinahinya atau anak perempuan  dari wanita yang dizinainya, sehingga keduanya tidak menjadi mahram bagi lelaki yang menzinainya karena ‘hubungan’ yang terjadi antara si wanita dan lelaki tidak dibolehkan oleh syariat.[4] Demikian pendapat jumhur fuqaha berdasarkan dalil ayat al-quran





حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْأَخِ وَبَنٰتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهٰتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَائِكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَإِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْۖ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلَابِكُمْۙ وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ٢٣

“ Diharamkan atas kamu (menikah) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu, dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang “ (Qs An-Nisa : 23 )

Selain istilah Mahram dalam perkawinan, ada juga istilah Mahram seorang perempuan dalam bepergian. Para Fuqoha mempunyai pendapat yang jelas dan cenderung seragam tentang ketidak bolehan dan keharaman bagi perempuan yang berpergian tanpa Mahram.[5] Dalam Fath al-Bari, Ibn Hajar al-Asqallani memaparkan berbagai pandangan ulama madzhab terkait alasan hukum dan moral etis mengenai persoalan ini. di samping pandangan yang mewajibkan mahram, ibnu hajar juga memaparkan dua pandangan berbeda dari dua ulama besar Madzhab Syafi’i. Imam Al-Karabasi, Murid langsung Imam Syafi’i tidak masalah bagi seorang perempuan yang pergi berangkat umrah atau haji sendirian selama perjalanan itu aman. Dengan alasan keamanan ini, Ibn al-Qaffal dan Imam Abu al-Mahasin al-Rayyani berpendapat perempuan boleh bepergian dengan alasan apapun tidak hanya urusan haji.[6]



B.     Macam-Macam Mahram.

Menurut syara larangan tersebut tersebut terbagi menjadi dua : yaitu halangan abadi dan halangan sementara.
Dianatara halangan-halangan abadi  yang telah disepakati dan masih diperselisihkan, halangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu :
1.      Larangan Karena Nasab (Keturunan)
Proses lahirnya sebuah keluarga atau rumah tangga dimulai dari khasarat dan keinginan individu untuk menyatu dengan individu lainnya. khasrat itu merupakan fitrah yang dibawa sejak individu itu lahir.

Soerjono soekanto mengemukakan bahwa hasrat manusia sejak dilahirkan adalah :pertama, menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya. Kedua, menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Oleh karena itu, terbentuknya sebuah keluarga diawali dengan proses memilih yang dilakukan oleh individu yang belainan lawan jenis, lalu melamar (Khitbah), dan dilangsungkan dengan perkawinan.

2.      Larangan Pembebasan (karena pertalian semenda atau perkawinan).
Ada empat orang yang telah diinyatakan oleh al-Quran tidak boleh dinikahi karena sebab perkawinan, keempat orang itu adalah ibunda istri (mertua), anak-
anak istri, istri anak kandung (menantu), dan istri bapak.

Maksud ibu disini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah, demikian juga dengan yang lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

3.      Larangan Kawin Karena Hubungan Susuan.

Jika diperinci Hubungan susuan yang diharamkan adalah :
a.       Ibu susuan, yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan.
b.      Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu  dari suami yang menyusui, suami dari ibu yang menyusui ini dipandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram melakukan perkawinan.
c.       Bibi susuan, yakni saudara ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya keatas.
d.      Keponakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
e.       Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.

C.    Mahram yang bersifat sementara.
Mahram muaqqat yaitu mahram orang-orang yang haram dinikahi sementara karena sebab terntentu, yakni apabila sebab keharaman itu hilang, hubungan mahram nya juga terputus.
Adapun perempuan-perempuan yang haram dinikahi sementara adalah :
1.      Dua perempuan bersaudara haram dinikahi oleh seoang laki-laki dalam waktu bersamaan, maksudnya mereka haram dimadu dalam waaktu yang bersamaan.
2.       Perempuan yang terikat dengan perkawinan laki-laki lain.
3.      Perempuan yang sedang masa ‘iddah.
4.      Perempuan yang ditalak tiga haram dinikahi oleh bekas suaminya, kecuali kalau sudah dinikahi lagi oleh orang lain dan telah berhubungan badan serta dicerai oleh suaminya terakhir dan telah berakhir masa ‘iddah nya.
5.      Perempuan yang sedang melaksanakan ihram, baik haji maupun umrah.[7]

D.    Wanita yang haram dinikahi karena sumpah Li’an
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi, maka suaminya  diharuskan bersumpah empat kali dan yang kelima kali dilanjutkan dengan menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Istri yang mendapat tuduhan itu bebas dari Hukuman zina kalau mau bersumpah seperti suami di atas empat kali dan yang kelima kali diteruskan bersedia mendapat laknat allah bila tuduhan suami nya itu benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinan keduannya untuk selama-lamanya[8]. Keharaman ini didasarkan pada firman Allah surat An-Nur ayat 6-9. :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ , وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِيَ,  وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ,  وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِين,  وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ ,

“ Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kalian akan mengalami kesulitan). (Qs-An-Nur : 6-10) “[9]
E.     Konsep Mahram dalam Al-Qur’an & Hadist
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Mahram adalah wanita yang haram untuk dinikahi oleh seorang laki-laki. Wanita yang akan dinikahi oleh seorang laki-laki haruslah tidak termasuk dalam golongan mahram. Baik mahram yang berifat selamanya maupun sementara (muaqqat).[10]
 konsep mahram didalam al-quran dijelaskan dalam al-quran surat an-nisa ayat 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْأَخِ وَبَنٰتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهٰتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَائِكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَإِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْۖ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلَابِكُمْۙ وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ٢٣
“ Diharamkan atas kamu (menikah) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang “ (Qs An-Nisa : 23 )

dan dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 24 :

وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاءَ ذٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوْا بِأَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةًۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ٢٤
” Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu- jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawin kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana “ ( Qs An-Nisa : 24)
Sehingga dapat di pahami bahwa mahram terbagi kedalam 2 bagian, yaitu mahram yang bersifat sementara dan mahram yang bersifat selamanya. Adapun larangan-larangan abadi yang telah disepakati ada tiga, yaitu :
1.      Nasab
2.      Pembebasan (karena pertalian kerabat semenda)
3.      Sesusuan.

Sedangkan yang masih diperselisihkan ada dua, yaitu :
1.      Zina
2.      Li’an
Halangan-halangan sementara ada sembilan, yaitu :
1.      Halangan bilangan.
2.      Halangan mengumpulkan
3.      Halangan kehambaan
4.      Halangan kafir
5.      Halangan ihram
6.      Halangan sakit
7.      Halangan ‘Iddah
8.      Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikannya
9.      Halangan peristrian.[11]

Beberapa hadist tentang larangan menikahi wanita yang termasuk Maahramnya, yaitu hadist yang diriyatkan oleh HR. Muslim  :
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim no. 1408)
Juga hadist nabi, tentang larangan menikahi wanita yang sedang melakukan ihram. Yaitu :
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409, dari ‘Utsman bin ‘Affan).



[1] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Jilid 2 (al-Qahirah: Dar al-Hadist, 2009), H.46
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Jilid 2 (al-Qahirah: Dar al-Hadist, 2009), H.57
[3] Ummu Ishaq Al-Atsyariah, Pensyariatan Mahram Merupakan kemulian Bagi Wanita, (Majalah AsySyariah Edisi 073). H. 3-4
[4] Ummu Ishaq Al-Atsyariah, Pensyariatan Mahram Merupakan kemulian Bagi Wanita, (Majalah AsySyariah Edisi 073). H. 4
[5] Imam Ibnu Hajar, Reinterpretasi Hukum Larangan Bepergian bagi perempuan tanpa Mahram, (Jurnal al-Manahaji, Vol. V1 No. 01 Januari 2012), H.143
[6] Ahmad Fawaid, Reinterpretasi Hadist Tentang Mahra, (Jurnal Nur el-Islam, Vol.3 No. 1 April 2016), h.191
[7] Ana Dzikriana, Peran kesertaan maahram bagi perempuan dalam perjalanan haji dan umrah di direktoral jendral penyelenggaraan haji dan umrah, (Skripsi, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). H. 29
[9] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M., Fikih Munakahat,Cet-2 (Rajawali Pers, Jakarta 2014), h. 71-72
[10] Enslikopedia Fiqh Islam, Fiqh Munakahat, h.
[11] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M., Fikih Munakahat,Cet-2 (Rajawali Pers, Jakarta 2014), h. 63-64

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH AHMAD SYATHIBI ( Bapak Pendidikan dari Tanah Pasundan )

BIOGRAFI SINGKAT KH BAHRUDDIN

ANJANI ( Cinta dan Patriarki )