ISLAM, HAM, DAN MAHKAMAH KONSITUSI
Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).[1]
Islam Dan
Negara
Islam
dalam pandangan Ahmad Amin[2] merupakan kabar yang besar
dengan dua sisi yang berbeda. Sisi pertama, dilekatkan pada makna langsung
yaitu suatu pengetahuan yang datang dengan membawa perbedaan tehadap keyakinan
(aqidah) bangsa Arab pada saat ittu. Sisi kedua, Islam dimaknai sebagai sebuah
tempat yang selamat (terbebas) dari kekuasaan bangsa Persia dan kekuasaan
bangsa Romawi pada masa itu. Islam secara terminologis adalah agama wahyu
berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi
Muhammad saw sebagai utusanNya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia,
di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Wahyu yang diurunkan oleh Allah swt kepada Rasul-Nya untuk disampaikan
kepada segenap umat manusia
sepanjang masa
dan setiap persada. Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur
segala perikehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan:
dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya.[3]
Seluruh
alam dalam makna Islam termasuk di dalamnya manusia merupakan gambaran atau
representasi kehendak Allah swt, setiap kejadian yang berlansung baik yang
telah terjadi maupun belum terjadi bahkan akan terjadi menunjukkan makna Islam
yang sesungguhnya, berserah, menyerahkan diri demi kehendak-Nya.[4] Kehendak Allah swt
terhadap Islam tidak hanya ditujukkan kepada kelompok-kelompok manusia
tertentu, melainkan kepada setiap manusia tanpa terkecuali. Islam sebagai
rahmat tanpa pengecuali termanifestasikan dari Nabi Muhammad saw sebagai
utusan-Nya untuk menunjukkan Islam menjadi agama samawi yang terakhir.
ÙˆَÙ…َآ Ø£َرۡسَÙ„ۡÙ†َٰÙƒَ Ø¥ِÙ„َّا رَØۡÙ…َØ©ٗ
Ù„ِّÙ„ۡعَٰÙ„َÙ…ِينَ
107. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Argumentasi agama samawi terakhir yang
memberikan kelengkapan terhadap ajaran-ajaran sebelumnya, yaitu: Agama Yahudi
dan Nasrani diungkapkan oleh Muhammad Quthb dengan memaknai Islam sebagai
sebuah keharmonisan yang mencakup sistem ekonomi yang adil, organisasi
kemaysrakatanyang seimbang, hukum perdata, hukum pidana maupun hukum
internasional, pandangan filosofis terhadap kehidupan beserta cara
pelaksanaannya, yang semuanya terpancar dari dasar yang sama, yakni kepercayaan
dan watak moral dan spritual Islam.[5]
Islam
sebagai Way of life yang mengatur ritualitas keagamaan serta kemasyarakatan,
yang menuntut setiap komunikasi yang terjadi di antara manusia itu sendiri.
Abul Kalam Azad memberikan pandangan bahwa Islam tidak hanya dipandang sebaagi
way of life, melainkan code of life sebagai prinsip-prinsip yang mengarahkan
manusia untuk melakukan sesuatu. Prinsip-prinsip ini menjadi sebuah panduan
dalam menafsirkan suatu kejadian yang pada akhirnya menentukan hukum terhadap
kejadian tersebut. prinsip-prinsip tersebut terbagi kepada tiga bagian:
Pertama, prinsip tersebut mengidentifikasi atas sebuah situasi atau sebuah
kejadian. Kedua, prinsip tersebut termasuk di dalamnya norma-norma dan
nilai-nilai tertentu. Ketiga, Prinsip tersebut melihat hubungan antara luasnya
pengaruh dari suatu peristiwa dengan akibat yang muncul dari peristiwa itu.[6]
Dalam
hubungan agama dan negara, agama menduduki posisi penting sebagai kebenaran
yang harus diwujudkan pada realitas dan menjadi landasan pembangunan suatu
negara. Agama memiliki empat peran dalam sebuah negara; agama sebagai faktor
pemersatu, agama sebagai pendorong keberhasilan proses politik dan kekuasaan,
agama sebagai legitimasi sistem politik, dan agama sebagai sumber moralitas.[7]
Koneksitas
Islam dan Konstitusi Indonesia 1945
Konstitusi
selalu terkait dengan paham konstitusionalisme dalam arti landasan pokoknya
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme
yang disebut negara.[8]
UUD
sebagai konstitusi tertulis berisi nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan ide-ide
yang disepakati bersama sebagai sumber referensi hukum yang tertinggi dalam
penyelenggaraan kekuasaan suatu negara. Konstitusi sering digambarkan sebagai
suatu kontrak sosial antar warga (social contract), atau suatu konsensus
politik antar warga (gesamte-akt) untuk membangun kehidupan bersama dalam satu
wadah negara. Konsitusi sebagai hasil kesepakatan, didalamnya beraneka ragam
kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda yang akhirnya dicapai melalui proses
‘menerima-danmemberi’ (takes-and-gives). Naskah UUD 1945 harus dipandang
sebagai konsensus atau kontrak sosial yang terlepas dari kesempurnaan atau
ketidaksempurnaan rumusannya, harus dipandang sebagai hukum tertinggi dalam
penyelenggaraan kegiatan bernegara.Jimly Asshidiqie, Undang-Undang Dasar 1945:
Konstitusi Kemajemukan Berbangsa Dan Bernegara, Makalah Disampaikan dalam
rangka Gus Dur Memorial Lecture yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference
on Religion and Peace (ICRP), di Jakarta, 15 Agustus 2011, hlm. 3. Jimly
Asshidiqie selanjutnya menyatakan bahwa
tidak ada konstitusi yang ideal, yang ada hanya konsensus maksimal dari berbagai
kemungkinan kesepakatan yang dianggap paling mungkin disepakati untuk
kepentingan bersama.
Indonesia
menjadi salah satu contoh bagaimana interaksi sosial dalam berbangsa dan
bernegara, lahir dari hubungan yang saling melengkapi antara nalar dan dalil
yang dingejawantahkan dalam bentuk Konstitusi 1945, atau dikenal dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Konsitusi ini munul sebagai sebuah pergulatan untuk
memisahkan diri dari kolonialisme, yang telah berada di Indonesia mulai dari
abad ke 17 M dengan dipelopori oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
UUD 1945 dalam Perpektif Islam memiliki makna: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai landasan spiritual yang direfleksikan dalam UUD 1945 sejalan dengan
nilai keislaman. Kedua, kemanusiaan sebagai landasan moral dan etika bangsa
yang direfleksikan dalam Hak Asasi Manusia, memandang manusia sebagai makhluk
yang dimuliakan oleh Allah SWT. Ketiga, persatuan sebagai landasan sosial
bangsa dengan semangat kekeluargaan untuk saling berbagi, saling bekerjasama
dalam kebaikan dan ketakwaan demi mencapai tujuan mulia. Keempat, Kerakyatan
sebagai acuan politik bangsa dan musyawarah untuk mencapai mufakat sebagai
prinsip dasar dalam proses pengambilan keputusan di antara pihak yang
berkepentingan dan dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah SWT. Kelima,
keadilan sebagai tujuan bersama dalam bernegara yang meliputi semua aspek,
seperti keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan sebagainya, yang diikuti dengan
tujuan untuk kesejahteraan rakyat.[9]
Kemerdekaan Indonesia dari rezim kolonial
mengantarkan pemikiran pentingnya pembentukan sebuah konsitusi. Konstitusi
merupakan hukum dasar yang dipergunakan untuk menentukkan tindakan-tindakan,
atau pegangan dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi
tidak hanya memuat suatu norma tertinggi (een hoogste normen), tetapi pedoman
konstitual (een constitutionale richtsnoer) bagi warga (rakyat banyak) dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[10]
Konstitusi
merupakan refleksi dari hadir dan kehadiran negara, hadir diartikan konstitusi
muncul sebagai pengejawantahkan akan adanya atau munculnya negara sebagai
sebuah entitas legalitas dalam menentukan tindakannya dalam melindungi masyarakat.
Kehadiran negara diartikan negara muncul sebagai pelindung dan pembela terhadap
masyarakat yang telah dicederai haknya oleh pihak-pihak tertentu.
Hadir dan kehadiran negara yang direfleksikan melalui konsitusi
didorong oleh dua unsur fundamental dari konstitusi, yaitu batas-batas hukum
terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan pertanggung jawaban politik
sepenuhnya dari pemerintah kepada yang diperintah. Sebuah negara atau sistem
pemerintahan apapun harus didirikan berdasarkan hukum, ketika kekuasaan dalam
negara dilaksanakan mesti disesuaikan dengan ketentuan dan prosedur hukum.[11]
Ketentuan dan prosedur hukum dalam pandangan
M. Natsir, dimaknai sebagai sebuah pemahaman bahwa “dalam satu negara yang
berdasarkan Islam umat dari agama-agama lain mendapat kemerdekaan beragama
dengan luas; dan mereka tidak akan berkeberatan kalau negara itu berlaku hukum
Islam mengenai soal-soal kemasyarakatan. Hukum tersebut tidak bertentangan
dengan agama mereka, mengibat bahwa dalam agama mererka tidak ada peraturan
yang berlaku semacam itu.[12]
Adapun kerangka berpikir dari keempat alinea
Pembukaan UUD 1945 berisikan tentang: Pertama, perihal mutlaknya kemerdekaan
dan kebebasan bagi manusia sebagai pemikul tanggung jawab kekhalifahan Allah di
muka bumi. Kedua, perihal tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Ketiga, perihal semangat keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan spiritual moral seluruh gerak dan
perjuangan bangsa dalam membangun negara. Keempat, perihal lima prinsip dasar
bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang hendak
dibangun.[13]
Piagam Jakarta muncul setelah
bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesis
dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda.
Sintesis inilah yang kemudian dikenal, dalam piagam ini terdapat anak kalimat
pengiring pada sila pertama: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.[14]
Piagam Jakarta merupakan representasi
keinginan umat Islam untuk menegakan syariat yang dianjurkan oleh al-Quran dan
al-Hadits. perubahan yang tampak jelas terkait dengan pembukaan UUD 1945, yang
menyatakan bahwa umat Islam diberikan keleluasaan dalam melakukan aktifitas
kegiatan peribadatannya. Kegiatan ini dimaknai tidak dalam hubungan antara
manusia dengan Tuhan (Allah swt) atau hubungan secara vertikal, melainkan pula
kegiatan peribadatan yang berhubungan dengan manusia atau hubungan secara
horizontal.[15]
Mohammad Hatta sebagai bagian dari
PPKI mencoba menengahi keinginan umat Islam dengan hubungan vertikal dan
horizontal dalam peribadatan, dengan menghilangkan kata-kata yang menunjukkan
konstitualisasi Syariat Islam dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Perubahan ini dilakukan
setelah melakukan diskusi dan konsultasi dengan Teuku Muhammad Hasan, Kasman
Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pengaruh yang cukup besar terhadap
perubahan sikap Hatta tercermin dari keinginnanya mempertahankan kesatuan
antara Islam, Katolik dan Protestan dalam ranah kesatuan. Imran Amrusi Jailani
memberikan tiga faktor yang mempengaruhi perubahan sikap Hatta tersebut:
a.
Konsensus
nasional tentang Preambul yang sudah dicapai dengan susah payah dalam Badan
Penyelidik dimentahkan oleh usul seorang opsir Angkatan Laut Jepang.
b.
Kedua,
dari keterangan Hatta dapat diketahui bahwa keberatan opsir itu yang
mengatasnamakan go-longan Katolik dan Protestan atas klausul Islami dalam
Preambul saja, ia tidak menyinggung batang tubuh UndangUndang Dasar. Namun yang
dicoret oleh Panitia Persiapan bukan hanya klausul Islami yang terdapat dalam
Preambul, melainkan juga kalusul Islami dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar.
c.
alasan
Hatta untuk mencoret klausul Islami dalam Preambul dan dalam batang tubuh
Undang-Undang Dasar supaya tidak merusak perasaan golongan Kristen dan
Protestan dan su-paya bangsa Indonesia yang baru mer-deka tidak terpecah-belah.[16]
d.
Kesepakatan
dan kesediaan golongan Islam untuk menerima perubahan Piagam Jakarta tertanggal
22 Juni 1945 juga menunjukkan dengan jelas kuatnya kehendak dekolonisasi,
bahkan melebihi peneguhan identitaskultural.[17]
Pengaruh ketiga tokoh ini tidak
mengurangi keinginan umat Islam, untuk memunculkan kembali dalam konstitusi Indonesia,
upaya ini tampak pada tahun 19561959 yang dibuat oleh konstitusnte walaupun
tidak tercapai kespakatan setelah Soekarno menggunakan kekuasaanya sebagai
presiden, dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.[18]
Kenyataan yang tampak dari munculnya
dekrit ini membawa kepada kesadaran umat Islam untuk tidak memaksakan kehendak,
untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kesatuan dalam tatanan Republik
Indonesia yang memiliki nama lengkap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keinsafan dan keikhlasan untuk menerima apa yang diputuskan oleh lembaga
eksekutif pada tahun 1959, menuntun umat Islam untuk menyadari bahwa suatu
keinginan yang luhur tidak selalu menunjukkan bahwa keinginan tersebut dapat
terkabul dan dikabulkan dengan mudah, melainkan memerlukan proses negosiasi
yang memunculkan kepentingan bersama sebagai titik tolaknya.
Permasalahan yang muncul pada tahun
1945 tidak hanya yerkait dengan UndangUndang Dasar 1945, melainkan pula dengan
sistem ketatanegaraan Indonsesia yang masih mengalami perubahan atau
berubah-ubah. Perubahan ini muncul tercermin dengan dikeluarkannya Maklumat
Wakil Presiden No. X tanggal 6 Oktober 1945, yang berisi penyerahan tugas
kepada KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Tugas ini terkait dengan KNIP
bertindak sebagai lembaga legislatif untuk bersama-sama, dengan Presiden
menetapkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dan menetapkan undang-undang
sebagai landasn hukum bertindak bagi penguasa.[19]
HAK
ASASI MANUSIA DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Sejak berakhirnya perang Dunia ke II,
perkembangan Nilai-nilai hak asasi manusia telah menjadi fokus yang luar biasa
bagi masyarakat internsinonal. Tonggak pergerakan HAM internasional adalah PBB,
sejak saat itu revolusi gerakan ham terus menghasilkan perangkat Hak Asasi
Manusia internasional. Namun. Tetap pada hakikatnya penegakang hukum hak asasi
manusia yang paling efektif harus dilakukan dalam tingkat nasional. Oleh sebab
itu, Jaminan HAM harus di atur dalam konstitusi nasonal agar pemerintah tidak
absolut, sehingga hak hak asasi setiap warga negaranya dapat terjamin dengan
baik.
Perubahan struktur
kenegaraan berubah begitu pesat saat terjadi transisi politik yang dimulai
sejak masa revormasi tahun 1998. Sehingga membuat perubahan revolisionner
terhadap ketatanegaraan Indonesia. perubahan politik yang terjadi pada masa
transisi ini merupakan konsekuensi logis pada masa transisi yang sedang
dijalani bangsa Indonesia dalam menanggapi perubahan tersebut. Impilkasinya,
terjadi amandemen sebanyak empat kali dalam UUD 1945 . salah satu perubahan
yang signifikan adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga
tertinggi negara.[20]
Perubahan
ketatanegaraan yang lain juga terjadi
adalah peningkatan perlindungan terhadap HAM yang tercantum dalam UUD 1945 dan
kemudian diejawantahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
pada dasarnya, hal ini terjadi karena tuntutan berbagai pihak atas
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi pada masa rezim ordu baru. Dalam masa
transisi negara dari rezim otoriter ke rezim demokrasi. Fokus kajian mengenai
pelanggaran HAM adalah bagaimana negara tersebut menemukan konsep keadilan
transisional yang tepat. Keadilan transisional merupakan permasalahan yang
menyangkup bagaimana suatu negara demokrasi yang baru memperlalukan pihak yang
bersalah dalam kejahatan yang dilakukan oleh rezim lama dan kaitannya dengan
masa depan negara tersebut.[21]
Peran
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Menyusun Konsepsi Keadilan Transisional
Keberadaan
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga tidak dapat
dilepaskan dari situasi transisi di Indonesia. ditinjau dari segi politik,
pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu upaya konsolidasi
demokrasi dengan cara meningkatkan penegakan hukum yang selama ini seolah
terbenam dalam politik otoritarian rezim orde baru. Adanya sistem Peradilan dua
Cabang (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), atau dikenal juga dengan
bifurkasi kekuasaan kehakiman, menggambarkan hilangnya kepercayaan publik
terhadap insitusi lembaga peradilan yang lama dalam mengawal konstitusi. [22]
Selain itu,
kewenangan MK dalam Juducial Review dan memberikan pendapat hukum dalam
proses impeachment presiden merupakan mekanisme dalam mencegah
absolitisme kekuasaan, baik diparlemen maupun dilembaga eksekutif.
Sebagai suatu
lembaga yang dibentuk dalam masa transisi politik di Indonesia, Mahkamah
Konstitusi harus melakukan dan menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi.
Tugas itu merupakan penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam
kerangka perannya sebaga “the guardian of contitution”. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM membutuhkan
kerangka konstitusional dan yurudis yang kuat untuk menopang pencarian konsepsi
keadilan transisional yang tepat. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi Berperan
dalam memberikan kepastian konstitusional agar segala upaya yang dilakukan
tetap berjalan dalam koridor-koridor konstitusi yang berlaku.
Konsep keadilan
transisional terus bergerak secara dinamis sampai menemukan suatu bentuk yang
tepat untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan masa lalu. Konsep ini merupakan
suatu proses pencarian. Sehingga mendapatkan pondasi yang cukup mantap untuk
menyelesaikan masalah tersebut lalu menatap dan melangkah ke masa depan. Konsep
ini tidak akan berhenti sampai ia menemukan formula yang tepat dalam
implementasinya sehingga efektivitasnya dapat dibuktikan.[23]
Fungsi
dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Menurut UUD 1945
Secara teoritik, Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga yang
memiliki otoritas di dalam menafsirkan konstitusi, menyelesaikan sengketa antar
lembaga negara yang sumber kewenangannya dari konstitusi dan memberikan putusan
mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden.
Keberadaan
Mahkamah Konstitusi dan eksistensinya di Indonesia sudah diakui dengan
diakomodirnya peraturan mengenai Mahmakah Konstitusi di dalam UUD 1945. Yaitu
didalam pasal 7B, pasal 24 ayat 2, dan pasal 24C.
Apabila kita
melihat pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 UU Nomor 8 Tahun 2011
(perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003) tentang Mahkamah Konstitusi, maka dapat
kita simpulkan bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah merupakan salah satu
lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan sebagai
penegak hukum dan keadilan.
Sedangkan tugas
dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan penjelasan umum UU No. 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi adalah menangani ketatanegaraan atau perkara
konstitusi terntentu dalam rangka menjaga keberadaan Mahkamah Konstitusi
sekaligus untuk mejaga terselenggaraanya pemerintah yang stabil, dan juga
merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu
yang di timbulkan oleh tafsir ganda konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai
penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga merupakan sebagai penafsir
Konstitusi tertinggi ( the sole interpreter of constitution).
Dengan merujuk
pasal 24C dapat pula diketahui bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi sangatlah
luas.[24] Dengan merujuk pada hasil
perubahan ke tiga UUD 1945 sebagaimana ditentukan pada pasal 24C ayat 1 dan
pasal 7B ayat 1 dan 4 maka kkewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dapat dielaborasi dalam 6 hal, yaitu :
1.
Melakukan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
2.
Memutuskan
sengketa kewenangan antar lembaga negara
3.
Memutuskan
pembubaran partai politik
4.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum
5.
Memeriksa,
mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara , korupsi,
penyuapan, dan tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela
6.
Memeriksa,
mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah
tidak lagi memiliki syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Pengaturan
Mengenai Hak Asasi Manusia Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
Jika kita melakukan peninjauan terhadap historis pembentukan negar
Republik Indonesia pada tahun 1945, akan tampaklah bahwa HAM telah mendapatkan
perhatian bahkan perdebatan penting. Namun, dalam proses demokrasi yang telah
mengakibatkan kurangnya keadilan HAM yang sudah sesuai dan tercantum dalam
Undang-Undang sebab pergantian dan silih berganti konsitusi membuta
ketentuan-ketentuan HAM melemah.
Oleh sebab itu
banyak pihak yang mencoba untuk melakukan pembaharuan dengan cara
menambahkannya, salah satunya dengan menyusun Piagam Hak Asasi Manusia ( HAM )
sebagaimana yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat hak yang dikategorikan
sebagai hak tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-dorogable
right yaitu :
1.
Hak
untuk hidup
2.
Hak
untuk tidak disiksa
3.
Hak
kemerdekaan pikiran dan hatu nurani
4.
Hak
bergama
5.
Hak
untuk tidak diperbudak
6.
Hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum
7.
Hak
untuk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut.
Hak yang diatur dalam UUD 1945 tersebut tidak boleh dilanggar,
sehingga setiap warga negara mempunya hak dan kedudukan yang sama di hadapan
hukum.
Penegakan
Hukum dan HAM Melalui Mahkamah Konstitusi
Kehadiran Mahkamah
Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berperan sebagai pengawal
konstitusi, agar konstitusi selalu dijadikan landasan secara konsisten, serta
mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Selain
itu, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir tunggal dan tertinggi atas
Undang-Undang Dasar, yang direflesikan melalui putusan-putusan sesuai dengan
kewenangannya.
Dengan adanya
Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan
dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional
dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi dan dapat diselesaikan secara
demokratis.
Mahkamah Konstitusi sebagai
institusi baru, diharapkan oleh masyarakat sebagai institusi yang dapat
menyelenggarakan fungsi dan kewenangannya secara profesional, terbuka dan dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat
meweujudkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Reformasi hukum yang pada awalnya
diartikan sebagai usaha untuk menggantikan berbagai perundang-undangan kolonial
dengan hukum nasional, diposisikan sebagai proses demokratisasi hukum dengan
memperhatikan hak baik aspirasi nasional maupun internasional. Konsentrasi
pembaharuan hukum diarahkan pada berbagai kelemahan pada masa lalu yang
mencakup sistem hukum dan kehidupan sosial, politik dan HAM, pemberantasan KKN,
dan yang mengatur ekonomi untuk menghadapi era pasar bebas. Undang-undang yang
mengatur pemilu dan Partai Politik disesuaikan dengan cara mengakomodasi
aspirasi demokrasi yang berkembang. undang-undang tentang HAM dirumuskan,
diikuti dengan ratifikasi terhadap instrumen-instrumen HAM internasional.
Hak asasi manusia merupakan hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Harus diakui hak-hak asasi manusia
yang semestinya dilindungin dan dihormati itu telah banyak diabaikan bahkan
dirampas oleh rezim orde baru. Hal ini menjadi perhatan kalangan dalam dan luar
negeri atas kondisi HAM Indonesia yang masih jauh dari harapan dan sangat
memperhatikan.[25]
Berbagai mekanisme dan solusi telah
diupayakan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu. Pembentukan
Undang-Undang tentang HAM (Undang-Undang No. 39 tahun 1999) dan Undang-Undang
tentang Pengadilan HAM (Undang-Undang No. 26 tahun 2000) merupakan wujud dari political
will pemerintah Indonesia dalam memenuhi tuntutan reformasi. Penyelesaian
pelanggaran HAM berat menjadi fokus utama agar peristiwa serupa tidak terulang
lagii, dan hak-hak korban dapat dikembalikan serta menncegah adanya potensi
disintegrasi yang disebabkan oleh duka masa lalu yang terus terpendam dalam diri
korban dan ahli warisnya.
Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman yang bertugas menjaga konstitusi secara langsung turut
serta dalam penegakan hak-hak asasi manusia. Hal ini ditarik langsung dari
hakikat pengertian konstitusi itu sendiri sebagai dokumen politik yang
melindungi hak-hak manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara maupun orang
yang hidup dalam negara tersebut.
Hal ini berangkat dari arti
konstitusi yang paling esensial adalah pertama, membatasi kekuasaan yang ada
dalam skema ketatanegaraan suatu bangsa, dan kedua, memformulasikan
perlindungan hak-hak dasar warga negara atau hak-hak asasi manusia secara
menyeluruh. Oleh sebab itulah peran Mahkamah Konstitusi berkorelasi langsung
dengan peran signifikannya sebagai aparatur penegak hak asasi manusia dalam hal
“kontrol norma”. Hakikat judicial and constitusional review adalah
memeriksa kesesuaian norma-norma dengan pesan pesan konstitusi yang tidak lepas
dari pesan normatif universalitas hak-hak manusia.
Penegasan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 jelas mencantumkan tugas konstitusional untuk
merelaisasikan perlindungan HAM termasuk melalui pembentukan KKR ( Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi) sebagai upaya untuk merealisasikan keadilan
terhadap pelanggaran HAM berat dimasa lalu. Berikut dikutip Pasal 28 yang
menegaskan pentingnya tugas konstitusional penegakan HAM ini :
Ayat 4
Perlindungan, pemajuan, penegakan
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah
Ayat 5
Untuk menegakan dan melindungi hak
asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal ini secara normatif menegaskan
tanggung jawab negara atas penegakan dan perlindungan hak asasi manusia.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara harus secara konsisten menanggung
tugas berat ini dengan berpegang pada prinsip “negara hukum yang demokrasi”.
Sebagai hasil dari agenda reformasi
nasional tahun 1998, Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah mengalami perubahan yang dilaksanakan dalam satu rangkaian empat tahap,
yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Dengan perubahan perubahan itu,
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar mengalami
pergeseran dn perubahan mendasar, sehingga mengubah pula corak dan format
kelembagaan serta mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada.
Dalam pasal 24C hasil perubahan
ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi diadopsi kedalam konstitusi negara kita sebagai
organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Agung.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi ditandai dengan diundangnkannya Undang-Undang No
24. Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
[2] Ahmad Amin,Fajrul Islam, (Beirut: Darul Fikr,
tt), hlm. 69. Persia dan Romawi pada masa Islam muncul atau lahir merupakan dua
imperium yang menguasai dunia dengan batas wilayah yang luas, yang kedua
memiliki pengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat sebaga
[3] Misbahuddin
Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur’an, (Dalam Jurnal Al- Ulum Volume. 11, No.
2, Desember 2011), hlm. 287.
[4] Lihat Waqar Ahmed Husaini, Sistem Pembinaan
Mayarakat Islam (terj. Anas Muhyidin), (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 1.
[5]Muhammad Qutb,
Salah Paham Terhadap Islam (terj. Hersri), (Bandung: Pustaka, 1980), hlm. 2.
Islam dalam Pandangan Muhammad Qutb dijadikan sebagai duta sejarah yang telah
lam di paripurnakan tugasnya, dengan menghapuskan penyembahan berhala,
menyambungkan hubungan persaudaraan yang muncul akibat permusuhan yang telah
lama terjadi di berbagai suku-suku di tanah Arab dengan mengedepankan konsep
Ummah, menghilangkan perbudakan dengan cara-acara yang merendahkan manusia
seperti: kekerasan atau menakut-nakuti, memaksa manusia melakukan kekeliruan,
merampas martabat manusia, kehormatan, kesejahteraan, bahkan hidup manusia.
[6]Md
Abul Kalam Azad, Principle Of Human Communication: Islamic Perspective, (Dalam
RA Journal of Applied Research Volume 1 Issue 06 July 2015), pp. 228.
[7] Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara:
Wacana Keislaman dan Keindonesiaan, (Dalam Jurnal Kalimah Volume 13, No. 1
Maret 2015), hlm. 206.
[8] Jimly
Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, Dan Konstitusi, (Jakarta, Mahkamah Konsitusi
Republik Indonesia, tt) hlm. 5.
[9] MPR-RI, Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI-
6 Agustus 2012), hlm/ 6.
[10] Wendy Melfa, Menggagas Amandemen UUD 1945
Dari Pemilukada, (Dalam Jurnal Dinamika Hukum Volume 13 No. 1 Januari
2013), hlm. 175.
[11] Zulqadri
Anand, Implikasi Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Terhadap Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, (Dalam Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 7 No.
3, Sept – Des. 2013), hlm. 269.
[12] Munawair Sjadzali,Islam Dan Tata Negara,
(Jakarta, Ui-Press, 1990), hlm. 193.
[13] Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945
Perspektif Islam, (Jakarta: PT Pustaka Alvabert, Cet. III, 2013),hlm.5.
[14] Rif’at Husnul
Ma’afi, Politik Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan Hingga Demokrasi
Terpimpin, (Dalam Jurnal al-Daulah Volume. 3, No.1, April 2013), hlm. 80.
[15] Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945. (Djakarta: Jajasan Parapantja, 1959). Pergulatan yang
menghasilkan perubahan UUD 1945, terkait dengan ketidaksetujuaan kaum Nasrani
dengan matan (redaksi) yang mengandung atau menunjukkan kekhususan Islam
sebagai agama yang memiliki peran dalam kemerdekaan Indonesia, serta dengan
adanya rekasi tersebut menghilangkan peran yang dilakukan umat agama lain
terutama kaum Nasrani.
[16] Imam Amrusi
Jailani, Pergolakan Politik Antara Tokoh Muslim Dan Nasionalis Dalam Penentuan
Dasar Negara Republik Indonesia, (Dalam Jurnal Karsa, Volume 22 No. 2, Desember
2014), hlm. 255-256.
[17] Aidul
Fitriciada Azhari, Ideologi Dan Konstitusi Dalam Perkembangan Negara-Bangsa
Indonesia: Rekonstruksi Tradisi, Dekolonisasi, Dan Demokratisasi, (Dalam Jurnal
Media Hukum Volume 20 No.1 Juni 2013), hlm. 103.
[18] Deni Indarayana, Kompleksitas Peraturan
Daerah Bernuansa Syari’at Perspektif Hukum Tata Negara, (Dalam Jurnal Yustisia
Edisi 81 September-Desember 2010), hlm. 95.
[19] M. Agus Santoso, Perkembangan Konstitusi Di
Indonesia, (Dalam Jurnal Yustisia Edisi 87 September-Desember 2013), hlm. 122.
[20] Mahkamah
Konstitusi diperkenalkan oleh UUD 1945 dalam perubahan ketiga sebagaimana
tercantum dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
[21] Satya Aryanto
“Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia” (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tatanegara FHUI, 2005). Hal.56
[22] Abdul Hakim G.
Nusantara “Mahkamah Konstitusi, Perspektif Politik dan Hukum dalam
harian Kompas , selasa 24 September 2002”
[23] Lihat Randall
Peerenboom “The requerement of transitional justice and rule of law are
often at odds”
[24] Ni’matul Huda,
Politik Ketatanegaraan, Diktat Kuliah Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2002, hal 114-116
[25] Hendra
Nurtjahjo, Sophian Martabaya dan Mutiara Hikmah, Konstitusionalitas Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, (Laporan Penelitian kerjasama FHUI dengan
Mahkamah Konstitusi RI, 2005), Hal. 1.
Komentar
Posting Komentar