ANJANI ( Cinta dan Patriarki )
ANJANI
( Cinta dan Patriarki )
Anjani meraba-raba rak buku di perpustakaan kampus
lalu mengambil beberapa buku. Ia duduk di kursi kayu paling tengah. Otaknya
terkuras, tubuhnya lemah, hatinya bimbang. Tugas akhir kampus yang tak kunjung
selesai membuat ia kewalahan. Ia merasa tertekan dengan keadaan, tak
bermakna rasa-rasa perjuangan kuliah selama 3,5 tahun yang ia tempuh lalu di
tentukan oleh mahluk yang bernama “skripsi”. Sebentar lagi sore menjelang dan
tumpukan buku harus segera ia rapihkan
Anjani mendesah panjang. Mungkin beginilah takdir seorang
perempuan. menjadi di paksa menyelesaikan kuliahnya lalu pulang kerumah
membantu orang tua, atau bahkan dikawinkan. Teman-temannya lebih santai, mereka
lebih sibuk mengerjakan tugas-tugas non akademik, mengurus acara, mengadakan
kegiatan, seperti tak ada beban akademik. Sedangkan Anjani sibuk bergelut
dengan buku, sesekali tangannya terlihat kaku karena sering beradu dengan
keybort laptop.
Langit lembut berwarna kemerah-merahan hilang ditelan
Cakrawala, buku sudah pulang ke tempat masing-masing, namun Anjani masih
merenung dalam keramain, mencari arti kesunyian dalam keramaian. Tatapan
matanya masih sama, kosong!. Tubuhnya gemetar, pipinya basah, muka kusut ia
tutupi dengan telapak tangan, Anjani menangis tersendu-sendu. Apakah ia menyerah
dengan keadaan?. apakah ia pasrah dengan takdirnya menjadi seorang perempuan ?
punya cita-cita tinggi tapi putus harapan oleh keinginan orang tua?
“setinggi-tingginya pendidikan perempuan, ia akan tetap menerima takdirnya
sebagai perempuan, menuruti semua perintah suaminya nanti, dan akhirnya tetap
di dapur-dapur juga” . kalimat busuk itu entah kenapa sering keluar dari mulut
orang tuanya, apakah karena budaya patriarki yang masih melekat ?
Anjani memandang rintik hujan di jendela perpustakaan, hari
sudah berganti malam, ia masih melamun. Bukan tuntutan akademik yang ia
bayangkan dari tadi, ia melamun mengingat pertemuannya dengan Bima di tempat
KKN dulu. Semuanya tampak seperti di film yang menyambung dengan
lamunannya. Anjani tidak pernah membayangkan bertemu dengan Bima di tempat itu.
selama di kampus ia hanya menjalankan tugas sebagai mahasiswa dengan harapan
prestasi yang baik dan membanggakan orang tua.
Sudah lama Anjani tidak berfikir tentang cinta. terakhir
kali ia merasakan cinta, hanya sakit yang ia dapat. Mencintai tapi tidak
dicintai, mengharap tapi tak diharap, Anjani yang malang.
Bagaimana ia bisa menyembunyikan cintanya kepada Bima ?
sedang selama sebulan mereka hidup bersama dalam satu atap beserta temannya
yang lain. Benih-benih itu mulai timbul saat mereka sering bersama. Namun, ia
tetap menjernihkan pikiran dan perasaanya. Mencoba terus fokus dengan
cita-citanya.
Anjani masih dalam lamunan, pipi Anjani masih basah, sama
seperti jendela yang ia pandangi. Semua fikiran tugasnya buyar saat Bima masuk
dalam relung hati dan fikirannya. bagaimana tidak, mereka menjalini hubungan
tanpa kejelasan status dan tujuann yang sama. sedang Anjani merasa bersalah
karena mencuri Bima dari kekasih lamanya. Dua tahun sudah Bima menjalin kasih
dengan Sari, adik kelasnya. Paras Anjani yang elok nan mempesona
membutakan hati Bima pada Sari, mencoba berlabuh dalam kekosongan hati Anjani.
“Dasar Bego!!”, Batin Anjani membentak lalu menyambung
dengan hati. Hujan semakin deras dan pipi Anjani makin basah. “apa yang tak
sempat disampaikan hujan kepada bumi?, apakah awan tidak menitip kata untuk
bumi? “ tanya Anjani, ia merasa bersalah. Tapi siapakah sebenarnya yang salah ?
apakah Bima yang tak bisa menjaga hatinya? Atau Anjani yang tak tahu diri ?.
Anjani mendesah panjang. Ada setumpuk penyesalan dalam
hatinya. Pertemuan dengan Bima memporakporandakan perasaanya. Padahal selama 4
Tahun hatinya tanpa riak seperti kolam tak berisi, tenang. Tapi kali ini ia
kalah oleh rayuan Bima, hingga ia terjatuh dalam perasaan cinta yang
menderita. Anjani linglung, apa yang harus ia lalukan? Melanjutkan hubungannya
dengan Bima, meski tanpa kejelasan dan tujuan yang sama. hanya bermain kata,
menikmati perasaan yang sementara.
Belum tuntas Anjani dalam lamunan, telepon selulernya
berdering. Nama Bima jelas di sana. Anjani dan Bima memang sudah saling
menyimpan rasa. Hati Anjani bergemuruh galau, kerap perasaan bersalahnya tak
bisa dihentikan. Siapa yang bisa menghentikan perasaan seseorang ? apakah
imajinasi seseorang bisa dibendung ?. berakhirlah panggilan tersebut tanpa di
pedulikan Anjani, ia masih belum selesai dalam lamunan.
“ Pake otak mu Anjani, agar kamu tak terjebak dalam
perasaan cintamu yang tolol itu!!”. batin Anjani kembali berontak. Tangisan
sendu terdengar lebih jelas ketimbang suara gemercik hujan di luar. Perasaan
galau kembali menyerang batin Anjani. Ia termakan permainan kata Bima dengan
dalih komitmen saling menjaga. Bagaimana Anjani bisa percaya? Selama dua tahun
menjalin kasih dengan Sari harus kandas karena pertemuan satu bulan di kampung
orang, lantas bagamana nasib Anjani? dipenjara perasaanya oleh kata.
Anjani yang malang. Waktu sudah pukul 21:00, rintik hujan
sudah tak lagi terlihat diluar jendela. Hanya ada kaca yang basah, seperti mata
Anjani. perlahan ia mulai tenang, meski setiap saat ia terus kebingungan.
Meski begitu, ia mencoba untuk tersenyum manis, semanis madu dan mencoba
mengalirkan di hatinya. Berusaha membuat mekar bunga-bunga yang dulu tandus di
hatinya. Sekeping kebahagiaan coba ia hadirkan dalam hatinya, meski hatinya
dalam keadaan bimbang. Anjani yang malang, tersenyum bahagia untuk
menyembunyikan kerisauannya.
"maaf neng, sebertar lagi perpustakaan akan
tutup". seorang penjaga melangkah menghampiri Anjani,
" Apakah perempuan diciptakan untuk dipermainkan,
pak?" ia bangkit lalu mengambil tasnya.
" Apakah perempun tidak bisa memilih jalan hidupnya ?,
apakah harus selalu mengikuti kata lelaki?, apakah itu bentuk keadilan ?"
masih tersendu-sendu, mata sembab tak bisa ia sembunyikan lagi.
" saya tidak tahu neng" jawab penjaga tersebut.
" Kenapa Tuhan membangun perasaan cinta yang begitu
megah didalam hati? sedang Ia pula yang membolak-balikkan hati"
pertanyaan-pertanyaan terus ia keluarkan dari mulut nya, jawaban
penjaga perpustakaan tetap sama.
" saya tidak tahu neng"
Dilema, hati yang kosong diisi Bima dengan segala kata-kata
rayuan gombalnya. apa daya, Anjani tetap menerima. ia tak punya pilihan lain,
sebab cinta telah menutup akal sehatnya. dengan penuh keyakinan Anjani tetap
berharap kepada Bima. sedang fikiran ia campur aduk, pertanyaan-pertanyaan
terus menggerogoti akal sehat hingga akalnya tidak sehat.
Sesekali akal sehat Anjani berfungsi, cinta ternyata
tidaklah buta. Cinta adalah pupuk utama dalam kehidupan, dengan cinta semua
kehidupan menjadi lebih berwarna. Begitupula hati Anjani. Segala keresahan dan
bimbangangannya sebab kurang cinta yang bermekaran. Anjani sejenak terdiam, ia
sadar sesekali, bahwa ia harus mencintai semua orang, bukan hanya Bima. Terutama
ia harus mencintai diri sendiri.
Anjani melangkah perlahan, senyum manis di bibirnya seolah
tanda hujan telah berhenti, memberi kehangatan dalam dingin malam. Anjani
melangkah keluar, meninggalkan ruang penuh imajinasi. Angin berhembus, rumput
tersipu malu, bintang bersinar dan Anjani mulai sadar. Bahwa cinta tak
selamanya buta, tergantung bagaimana cinta itu di tanam. Cintanya kepada Bima
tak pudar, urusan hati kini ia campur dengan akal agar tak tersesat dalam kebodohan yang ia anggap
cinta.
Namun, tetap saja ia adalah Anjani yang malang. Anjani yanng
manis, lesung pipi melengkapi struktur kulit yang putih, bibir yang tipis
dengan bola mata yang coklat. Membuat hidupnya tak mau ketinggalan indah. Tapi,
isi hati siapa yang tau? Paras cantiknya menyembunyin duka, duri dalam hati
belumlah sempat ia usir pergi. Anjani
sadar cinta bukanlah segalanya, namun segalanya perlu cinta. Tapi cintanya
untuk Bima tak pudar, terkadang perasaan itu yang membuat ia lemah. Sebab, Bima
hanya menjadikan hati Anjani tempat bersinggah. Anjani yang malang, Anjani yang
rupawan, cintanya tak berbalas. Sekedar dipermainkan.
Anjani masih belum memutuskan, ia masih senang bermain-main
dengan hati dan menikmati setiap sakit yang datang. Ia sangat pintar bersembunyi
dibalik kebodohan cinta, senyum manis tak pernah hilang dari parasnya yang
cantik. Padahal ia tahu, takdirnya akan ditentukan oleh laki-laki. Ia harus
menuruti kata yang keluar dari mulut orang tuanya.
Anjani masih terjebak dalam kata-kata, usianya yang belum
matang membuat ia selalu bimbang.
Perpustakaan telah tutup, Anjani perlahan keluar
meninggalkan perpustakaan. Tanah yang basah, meninggalkan jejak kaki Anjani di
halaman depan perpustakan. Sebagaimana ia meninggalkan jejak kenangan diantara
kisahnya dengan Bima, dan ditinggalkanya Sari demi Anjani.
Anjani yang malang, dan akan selalu malang.
Komentar
Posting Komentar